Reposisi Sains Seorang Muslim
Rabu, September 16, 2009 Edit This 0 Comments »
by : Syaefudin (Milist Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia)
“Sains hanya melahirkan cendekia tak berbudi, pemikir tanpa hati, dan ilmuwan miskin nurani. Ilmu pengetahuan saat ini belum mampu memberi rasa takut terhadap Pencipta alam, sedang teknologi sebagai produknya ibarat pelena tidur panjang manusia. Tak sedikit yang lupa akan hakikat penciptaan mereka”. Benarkah?
Reposisi Sains Seorang Muslim
Bagi insan akademisi, sains tidaklah hal asing. Bahkan, seorang biasa yang belum mengenyam rasanya ‘bangku’ pendidikan pun sebenarnya sudah mengenal contoh peristiwa sains. Sejak kecil, kita dikenalkan dengan ilmu pengetahuan meski sekedar perumpamaan sederhana. Misalnya, suatu saat kita melihat ada benda bulat besar berwarna kuning terang di angkasa. Lalu, ibu yang sabar dengan cekat berkata “itu namanya matahari, nak”.
Sains berperan penting dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan, kita mampu berkomunikasi dengan saudara di tanah seberang sana. Pun, melalui sains kita bisa mengindera, menemukan jawab fenomena yang terjadi alam raya. Namun, apakah benar fungsi sains sebatas itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya melihat kembali definisi sains. Secara sederhana, sains atau ilmu pengetahuan adalah hasil penafsiran manusia, melalui serangkaian kegiatan ilmiah, tentang alam semesta serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Alam semesta yang dimaksud di sini adalah semua ciptaan Allah termasuk manusia itu sendiri.
Jadi, sejatinya sains bukan sekedar pengetahuan serta perangkat canggih sebagai hasilnya yang berguna bagi kebutuhan hidup manusia dalam rangka memakmurkan bumi dan menjadi khalifah Allah di bumi. Namun, ia juga berperan sebagai ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) yang mengenalkan manusia kepada Pencipta alam semesta, beserta sifat-sifat- Nya sebagaimana firman Allah:
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu . Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS. Thaahaa, 20:53-54)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yuunus, 10:5).
Dalam tinjauan sejarah, kisah Nabi Ibrahim mengenal Tuhan yang sesungguhnya adalah contoh nyata fungsi ayat pada alam semesta. Dalam Alqur'an surat Al-An’aam, Allah mengisahkan bagaimana konsepsi Ibrahim tentang fenomena alam yang sangat sederhana mampu menghantarkannya kepada pengenalan Allah:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan kau bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’aam, 6:74-79).
Di samping Nabi Ibrahim, Nabi lain yang disebut sebagai uswah hasanah dalam Alqur'an, yakni Rasulullah Muhammad SAW mengenal Allah melalui tafakkur alam. Sebelum turun wahyu Allah yang pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad gemar mengasingkan diri ke gua Hira di Jabal Nur. Selain beribadah, beliau juga menghabiskan waktunya dengan memikirkan (bertafakkur) keagungan alam di sekitarnya dan adanya kekuatan tak terhingga di balik alam semesta.
Tidaklah mengherankan jika pada akhirnya perintah eksplorasi fenomena alam ini menjadi salah satu bentuk dakwah para Nabi dalam mengenalkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam. Misalnya, Nabi Nuh AS menyeru kaumnya agar beriman kepada Allah dengan mengingatkan mereka akan beragam keajaiban fenomena alam semesta:
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (QS. Nuh, 71:13-20).
Nabi Ibrahim a.s. pun berdakwah kepada Namrudz dengan menggunakan pemaparan tentang fenomena alam, dan mampu membungkam sang raja dengan kekuasaan Allah di alam:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah, 2:258).
Kepada Nabi Muhammad saw, Allah menurunkan wahyu Alqur'an yang berisi seruan untuk meneliti dan mempelajari fenomena alam agar manusia menjadi hamba yang semakin mengenal Rabbnya dan bertaqwa:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan, 3:190-191).
Sedikit gubahan dari Materi ‘Sains Ideal dalam Perspektif Islam’ karya Catur Sriherwanto (Direktur Harun Yahya Indonesia). http://hidayatullah .com/berita/ tafakur.html
“Sains hanya melahirkan cendekia tak berbudi, pemikir tanpa hati, dan ilmuwan miskin nurani. Ilmu pengetahuan saat ini belum mampu memberi rasa takut terhadap Pencipta alam, sedang teknologi sebagai produknya ibarat pelena tidur panjang manusia. Tak sedikit yang lupa akan hakikat penciptaan mereka”. Benarkah?
Reposisi Sains Seorang Muslim
Bagi insan akademisi, sains tidaklah hal asing. Bahkan, seorang biasa yang belum mengenyam rasanya ‘bangku’ pendidikan pun sebenarnya sudah mengenal contoh peristiwa sains. Sejak kecil, kita dikenalkan dengan ilmu pengetahuan meski sekedar perumpamaan sederhana. Misalnya, suatu saat kita melihat ada benda bulat besar berwarna kuning terang di angkasa. Lalu, ibu yang sabar dengan cekat berkata “itu namanya matahari, nak”.
Sains berperan penting dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan, kita mampu berkomunikasi dengan saudara di tanah seberang sana. Pun, melalui sains kita bisa mengindera, menemukan jawab fenomena yang terjadi alam raya. Namun, apakah benar fungsi sains sebatas itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya melihat kembali definisi sains. Secara sederhana, sains atau ilmu pengetahuan adalah hasil penafsiran manusia, melalui serangkaian kegiatan ilmiah, tentang alam semesta serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Alam semesta yang dimaksud di sini adalah semua ciptaan Allah termasuk manusia itu sendiri.
Jadi, sejatinya sains bukan sekedar pengetahuan serta perangkat canggih sebagai hasilnya yang berguna bagi kebutuhan hidup manusia dalam rangka memakmurkan bumi dan menjadi khalifah Allah di bumi. Namun, ia juga berperan sebagai ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) yang mengenalkan manusia kepada Pencipta alam semesta, beserta sifat-sifat- Nya sebagaimana firman Allah:
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu . Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS. Thaahaa, 20:53-54)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yuunus, 10:5).
Dalam tinjauan sejarah, kisah Nabi Ibrahim mengenal Tuhan yang sesungguhnya adalah contoh nyata fungsi ayat pada alam semesta. Dalam Alqur'an surat Al-An’aam, Allah mengisahkan bagaimana konsepsi Ibrahim tentang fenomena alam yang sangat sederhana mampu menghantarkannya kepada pengenalan Allah:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan kau bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’aam, 6:74-79).
Di samping Nabi Ibrahim, Nabi lain yang disebut sebagai uswah hasanah dalam Alqur'an, yakni Rasulullah Muhammad SAW mengenal Allah melalui tafakkur alam. Sebelum turun wahyu Allah yang pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad gemar mengasingkan diri ke gua Hira di Jabal Nur. Selain beribadah, beliau juga menghabiskan waktunya dengan memikirkan (bertafakkur) keagungan alam di sekitarnya dan adanya kekuatan tak terhingga di balik alam semesta.
Tidaklah mengherankan jika pada akhirnya perintah eksplorasi fenomena alam ini menjadi salah satu bentuk dakwah para Nabi dalam mengenalkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam. Misalnya, Nabi Nuh AS menyeru kaumnya agar beriman kepada Allah dengan mengingatkan mereka akan beragam keajaiban fenomena alam semesta:
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (QS. Nuh, 71:13-20).
Nabi Ibrahim a.s. pun berdakwah kepada Namrudz dengan menggunakan pemaparan tentang fenomena alam, dan mampu membungkam sang raja dengan kekuasaan Allah di alam:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah, 2:258).
Kepada Nabi Muhammad saw, Allah menurunkan wahyu Alqur'an yang berisi seruan untuk meneliti dan mempelajari fenomena alam agar manusia menjadi hamba yang semakin mengenal Rabbnya dan bertaqwa:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan, 3:190-191).
Sedikit gubahan dari Materi ‘Sains Ideal dalam Perspektif Islam’ karya Catur Sriherwanto (Direktur Harun Yahya Indonesia). http://hidayatullah .com/berita/ tafakur.html