Refund yang No Fund

Sabtu, Maret 28, 2009 Edit This 0 Comments »
by : Muthmainnah



Mata itu berbinar-binar. “Jam tujuh, Jeng!”

Ajeng tak bergerak dari telungkupnya. Matanya setia mengikuti huruf demi huruf jurnal komunikasi di depannya. Dua hari lagi dia harus mengirimkan bab tiga ke supervisor.

Karin menyodok Ajeng. “Denger nggak?”

Ugh. Dari kemarin omongan Karin nggak lepas dari sale! Sale Topshop, Fcuk, Zara. Sekarang Next. Esok Next mulai sale. Dia naksir blazer hitam Next.

Bukannya Ajeng nggak naksir!

“Iya.” Ajeng menjawab datar.

Karin tertawa bahagia. “Sale winter lalu aku nggak bisa belanja, Jeng. Soalnya uang kepake tur Eropa. Aku tadi cek account. Kiriman dari Bapak sudah masuk.” Dia tidak punya fasilitas overdraft.

Mulut Ajeng mengerucut. “Bukannya kamu masih ngutang sama Mbak Ira?” Mereka berdua membayar sewa rumah pada Mbak Ira, karena rumah disewa atas nama Mbak Ira. Tiap bulan mereka berbagi bill. Mbak Ira membayar paling banyak, karena kamarnya paling besar. Lalu Karin. Sedang Ajeng menempati kamar singel yang terkecil. Cuman muat kasur, lemari dan meja kecil. Ada sisa ruang sedikit untuk sholat.

Karin belum bayar kopi Costa pada Ajeng. Pekan lalu juga utang ongkos ke car boot sale Whitley Bay. Memang nggak banyak sih. Enam pound. Cuma, segitu bisa makan tiga hari. Ajeng menggerutu dalam hati.

Karin seperti tak mendengar.

“Sewa rumah bulan lalu?”

Karin seperti tersengat. “Aku akan bayar.” Dia menggerutu panjang pendek. Sale nggak ada tiap hari, begitu isi gerutunya .

Ajeng menutup dua telinga. Dia perlu kosentrasi.

Karin begitu itu. Anak orang kaya. Hobinya jalan-jalan dan belanja. Liburan akhir tahun main ski ke Austria. Punya mobil dan HP. Tapi sering ngutang. Sedihnya utangnya dilupakan.

Ajeng sering apes. Kalo jalan sama Karin, misal minum kopi, Karin minta dibayarin dulu. Alasannya belum ambil uang ke ATM. Minum kopi ya paling sepound lebih dikit. Cuma, bisa dipastikan Karin lupa sama utangnya. Pernah Ajeng mencatat, sebulan utang-utang kecil Karin sampai pada jumlah 23 pound! Mulai dari beli minum, ongkos, bayar kartu fotokopi, sampai... beli pembalut.

Ubun-ubun Ajeng rasanya sudah berasap. Uang segitu buat Emak di rumah bisa buat belanja dua pekan! Bukan apa-apa. Ajeng kan miskin. Ke sini juga disekolahkan orang. Nggak seperti Karin. Bapaknya kayak yang punya bank saja. Kapan saja, berapa saja Karin minta, selalu ada. Mbak Ira juga bukan orang kaya. Supaya bisa meneruskan sekolahnya, dia kerja serabutan ke mana-mana.

“Blazernya buat Agustusan. Mas Agung pasti datang. Dia panitia.”

Ajeng membuka tangan di telinganya, melongo. Dia lupa dengan jurnalnya.

“Mas Agung?” Dia tak percaya.

“Agung Haryanto.” Wajah itu melamun.

Ajeng memukul Karin dengan jurnalnya. “Bangun ooi!”

Karin kembali ke bumi, manyun. “Napa?”

“Mas Agung udah tua, Karin!”

“Paling baru 26, beda 7 tahun saja.”

Ajeng menatap temannya takjub. “Orang kayak dia biasanya udah nikah lagi umur segitu!” Jenggotan, baju koko.

“Nggak ada istrinya.”

“Kali ditinggal.”

“Kalo nggak ada di sini, lebih mudah kan.”

“Ampuun deh. Waras dikit napa sih Karin!” Semprot Ajeng. Ajeng mengemasi bukunya. Kekesalannya bertambah-tambah. Selain hobi belanja, dia juga senang melakukan pendekatan pada makhluk-makhluk.

Karin sebenarnya manis, asal dia mengurangi make upnya. Dia cukup menarik kalau pakai bajunya proper. Pernah, pergi mengunjungi kapal Dewaruci--bertambat di Quayside dalam lomba tallship--dia datang dengan baju skimpi, celana jins yang robeknya sampai pangkal paha dan melorot rendah sekali. Asli, Ajeng nggak mau dekat-dekat dengan Karin. Dia tidak mau melihat bagaimana teman serumahnya dinikmati pelaut yang sudah lama tidak lihat perempuan itu.Eh, ndilalah. Dengan bahagianya Karin cerita dia diajak ngobrol banyak awak kapal.

Asli, Ajeng geleng-geleng. Ada ya makhluk seajaib Karin?

Lha, mau mendekati Mas Agung? Yang ustadz itu?

***

Pagi Agustus yang segar dan ramah. Cericit burung saling meningkahi. Di Jakarta, Ajeng tak pernah mendengar suara burung pagi-pagi. Dulu, ketika baru sampai di sini, bangun pagi hari, Ajeng takjub mendengar kicauan burung. Di sini memang begitu. Penduduk banyak menyediakan makanan burung di halamannya. Di danau buatan, roti bertaburan seperti pasir di pantai. Merpati dan bebek di Leazes Park sampai tak bisa menghabiskan ‘sumbangan’ makanan itu. Mereka makmur dan gendut. Menembak burung liar bisa kena penjara. Makanya burung di sini berkembang biak. Ajeng sempat berfantasi menangkap bebek di sana dan memasak bebek hijau a la Tante Ayu dari Padang. Fantasi saja. Ajeng masih takut polisi.

“Jeng, sudah siap belum?” Suara melengking Karin. Ia minta ditemani belanja.

Agak malas Ajeng keluar kamar.

“Ayo!” Karin tidak sabar, menuruni tangga.

“Biasanya jam segini, kamu masih ngorok,” Ajeng misuh-misuh.

Karin pura-pura tidak mendengar. Dia menyambar jilbab dari gantungan baju dan melemparkan kepada Ajeng. “Aku tunggu di mobil.” Lalu dia melesat keluar.

Nona ini kalau ada maunya... Padahal pakai mobil dia ke city centre nggak sampai enam menit.

“Aku naksir blazer hitamnya, Jeng. Kemarin, sebelum sale masih 100 pound. Katanya, hari ini bisa jadi 60 persen. Bisa dapat 40 pound. Di Jakarta nggak dapat segitu. Boro-boro. Sepotong Next bisa dua juta. Ada sepatu yang cantik temannya. Aku lihat masih ada ukuranku. Mungkin bisa dapet 15 pound.”

Sepatu Ajeng dibawa dari Indonesia.

“Uang segitu bisa bayar kamar lhoo.”

Bibir itu manyun.

“Aku akan bayar. Denger nggak sih?”

“Habis, masih ada utang, udah maruk mau belanja. Kasihan Mbak Ira. Kerja banting tulang gitu.”

“Aku kan bilang,” seru Karin melengking. “Aku akan bayar. Aku cuma mau pake bajunya untuk tujuh belasan. Trus direfund.”

W H A T?!

Ajeng menatap temannya horor.

“Maksudmu?”

“Aku beli dulu, trus dibalikin. Uangnya kan dapat lagi.”

“Setelah bajunya kamu pake?”

Karin nampak gelisah. “Ya.” Suaranya kecil.

N O!

“Rugi amat yang beli baju setelah kamu pake.” Ajeng ketus.

“Why?” Suara itu penuh ancaman.

“Bau!”

Karin mengumpat. “Aku nggak pernah bau lagi! Kamu tuh.”

Hening.

“Kan boleh gitu, Jeng. Kalo nggak puas, nggak suka barangnya, ada masa 14 hari untuk refund. Banyak yang kayak gitu.”

“Baju?”

“Ya, macam-macam. Kemarin Mas Han beli digital cam untuk graduationnya. Pas udah dipake, kameranya dibalikin. Uangnya dapat lagi. Daripada nyewa kamera.”

Ajeng berdiam diri. Dia tetap merasa apa yang akan dilakukan Karin salah.

“Tahu nggak? Next juga jualan scarf lho. Beli deh. Aku mau nyari yang pake nama Nextnya. Aku mau pakai jilbab esok...”

Ajeng memutar bola matanya.

Sejak kapan si seksi ini kepikiran pake jilbab?

“Mas Agung,” Karin terkikik.

Ajeng tersegat lebah. “Napa?”

“Pasti nggak pernah liat anak jilbab modis.”

Hidup di jaman kapan sih kamu, Karin? “Di Indonesia dah banyak lagi anak jilbab gaya kamu,” tukas Ajeng datar.

“Eh?” Wajah itu tidak percaya.

“Sudah banyak yang jilbabnya mini, nampak udel. Banyak juga yang jilbab cekek, nampak big boobs. Jadi, kayak kamu mah dah pasaran,” dengus Ajeng.

“Kan nggak ada yang secantik aku.” Suara itu bahagia.

Ajeng mau muntah. “Cantik tapi...”

“Sirik tanda tak mampu.”

Hoek.

Karin parkir di dalam kampus. Tak menunggu langkah kecil Ajeng, Karin setengah berlari menyeberang. Ajeng sengaja memperlambat langkahnya.

“Jeeeng, aku tunggu di depan pintu ya?” pekik Karin.

Ajeng meleletkan lidah.

Pagi Sabtu, jalanan sepi. Kampus pun hampir kosong. Gedung pustaka Robinson menjulang dari jauh, seakan mempunyai magnet yang amat kuat. Di saku jaket Ajeng ada kartu mahasiswa. Walau kampus sedang libur, Ajeng bisa membuka gedung dengan kartunya.

Pergi? Tidak?

Wajah murka Karin membayang.

Menghela napas, Ajeng menekan tombol lampu penyeberang di depan St. Mary.

Wuih. Di depan Next antrian sudah mengular... sampai ke Superdrug. Ada ibu-ibu dengan pushchair juga. Semangat amat sih.

“Hallo, Ajeng. Ngesale juga nih,” Beberapa ibu-ibu Indonesia, bergerombol di barisan agak ke depan.

Ajeng meringis. “Nunggu sejak jam berapa, Bu?”

“Hampir jam lima. Tapi, kan kita hampir paling depan.” Mereka tertawa riang.

Ajeng tertawa terpaksa. Dia lalu pamit, menuju ujung antrian.

Jalan Northumberland mulai hidup. Karin thumps up melihat Ajeng. Mereka terpisah lima orang.

“Assalamu’alaikum. Ajeng? Karin? Apa kabar?”

Satu suara membuat Ajeng melongokkan kepala. Mbak Onny. Yang membina pengajian putri Newcastle. Muka Ajeng memanas. Dia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang kurang pantas. Ajeng keluar dari antrian dan menyalami Mbak Onny.

“Pulang kerja Mbak?”

Mbak Onny cleaner. Suaminya Ph.D. Belum selesai, beasiswa sudah habis. Mbak Onny yang juga dosen di Jogja mencari penghasilan dengan menjadi petugas kebersihan.

“Baru akan berangkat. Besok datang?”

Kerongkongan Ajeng kering. Dia mengangguk lemah.

Mbak Onny tersenyum tipis. “Jangan lupa sisihkan uang untuk Pangandaran, Jogja dan yang lain ya?” Mata itu begitu damai.

Ajeng tunduk. Coba tadi ke kampus saja.

“Sendirinya belum tentu ngirim ke Pangandaran,” Karin menyong, menatap punggung Mbak Onny yang hampir hilang.

“Sok tau lu.” Kepala Ajeng memanas.

Untungnya pintu Next dibuka. Seperti ombak, manusia berduyun masuk ke toko. Karin mendesak maju. Ajeng membiarkan yang lain mendahului. Minatnya untuk lihat-lihat lenyap.Karin seperti orang demam. Pontang-panting meraup blazer yang dia idam-idamkan; sepatu, scarf. Dua-dua tangannya penuh dengan baju, rok dan lain-lain. Ajeng berdiri di tepi. Toko itu terlalu penuh untuk bisa jalan dengan tenang. Baju dan rok Ajeng masih banyak yang bagus.

***

Kalau kemarin, Karin yang menunggu Ajeng di depan pintu, kali ini giliran Ajeng.

“Lama amat sih dandannya?”

Mbak Ira tidak di rumah. Menginap di rumah temannya.

Ketika pintu itu terbuka pelan-pelan, Ajeng menahan tawa kuat-kuat. Menor beh. Jilbab cekek. Aduh, nggak Karin amat deh.

“Aku belum selesai.” Karin mengacungkan tangannya. Kuku palsu!

Karena takut pertahanan dirinya jebol—ngakak nggak habis-habisan—Ajeng mendahului Karin menuju Leazes Park.

Anak ajaib. Karin pernah mikir nggak sih nyambung di mana jilbab sama kuku palsu? Ajeng geleng-geleng kepala. Tapi, ya, masih mending berteman sama Karin. Undergrad yang lain pada hobi clubbing, atau kasinoing. Betul itu. Teman-teman, kalau week end, sering janjian di Monument, terus jalan ke club. Atau mereka suka ngumpul di kasino. Alasan anak gadis muslim yang lain, mereka sekadar duduk di lounge. Ada sandwich gratis.

“Kan nggak betting. Lumayan, free dinner.”

Ajeng nggak deh.

Walau Karin hobi berpakaian seksi, sejauh ini, dia nggak freely touchy, gitu loh. Exsesively flirty, iya. Anaknya kadang nyebelin. Tapi, dalamnya dia baik.

Setiap memasuki pagar Leazes, selalu Ajeng ingat Bang Rul. Bang Rul gila bola. Bulan pertama di sini, melulu pertanyaan Abang tentang Owen. Pohon kiri kanan yang merundukkan rimbunnya ke jalan, hmm, Ajeng suuuka. Sebentar lagi, Autumn. Daun-daunnya akan berguguran dan menghiasi jalan. Menguning seperti emas. Pohon tinggal ranting dan dahan saja. Dulu, waktu baca prospek Newcastle Uni, Ajeng jatuh cinta dengan danau ini. Baguuus sekali. Pulau kecil yang romantis. Kebayang nggak sih, kemping di pulau kecil, sendiri saja? Di sekitar angsa dan bebek liar? Menghidupkan api unggun? Yummy.

Eh, pas melihat betulan. Asli, Ajeng terperangah. Ini mah kolam ikan! Bukan ‘lake’. Ketipu, sodara-sodara! Tapi, tetap cakep. Kolam ikan yang terawat dan bersih. Apalagi di kanannya, playground anak-anak baru saja dibangun. Lengkap dengan lantai warna warninya.

Di kiri danau, hampir ke dekat St James Park, komunitas Indonesia mendirikan tenda makanan. Ibu-ibu berkumpul di tenda. Sebagian sibuk mengatur makanan, sebagian ngerumpi sambil icip-icip. Anak-anak berlarian. Warna kulit mereka beragam. Dari yang putih bule, putih Cina, sampai hitam Afrika. Teriakan mereka medok Geordie.

“Let’s go to the wa’er!”

“It’s not fun!” Fun dibaca dekat ke bunyi u, daripada a.

Bapak mereka, ada yang bule, ada yang Afrika, bergerombol di satu sudut. Bapak-bapak PhD kumpulnya di sudut lain. Diskusinya melulu tentang perkembangan tesis. Anak muda-muda punya kesibukan lain. Ada yang menyiapkan tonggak untuk mengibarkan bendera. Ada yang menyiapkan perangkat games dadakan. Ada yang bungkus-bungkus kado hadiah. Ajeng pilih gabung ke sini. Menggunting kertas kado, menempelkannya ke kotak hadiah. Panitia menyiapkan puluhan hadiah. Sebagian untuk anak-anak seperti spidol, magic board.

“Aku juga mau deh dapet hadiah ginian?” Ajeng membolak-balik kotak girl’s kit.

“Masa kecil kurang bahagia lu,” Naning temannya membungkus kado berkomentar dengan cuek.

Ajeng cengar-cengir.

Waktu kecil—sekarang juga sih—mana ada dalam kamus keluarga Ajeng dibelikan mainan. Kalau mau punya mainan, ya dibuat sendiri. Boneka dijahit Emak. Pistol-pistolan dibuat dari pohon bambu.

“Eh, udah dipanggil upacara,” Naning menyenggol Ajeng. Di sekitar mereka bertumpuk kotak kado.

Ajeng buru-buru menggunting selotip. Merapihkan lipat kertas kado dan sigap menempelkan selotip.Yup. Sudah. Lagu Indonesia Raya sudah setengah jalan. Pelan Ajeng menggabungkan diri. Di depan komandan upacara, ketua PPI. Ada yang mengibarkan bendera, berdua. Komunitas Indonesia berdiri berjejer. Mungkin seratus lah.

Aneh ya, upacara di negeri orang.

Pembacaan puisi. Puisi ini terjemahan lagu Indonesia Raya. Tujuannya memberikan pemahaman lebih pada adik-adik kecil yang lahir dan besar di sini. Ini tugas Karin.

Karin berjalan dari samping, menuju tengah lapangan. Wajah percaya dirinya penuh senyum. Satu kali matanya mengerling pada Mas Agung. Tapi yang dikerling tidak melepaskan pandang dari bendera merah putih. Percuma Karin!

Karin berbalik.

Alaaaamaaaak.

Ajeng ingin berlari ke depan, menyambar lengan temannya dan mengajaknya minggir.

Pada leher blazer Next hitamnya itu, yang di dalamnya ada jilbab cekek, bergelantungan dengan manis....

Aduh, merek dan harga baju!

Kertas itu menari-nari ditiup angin.

Sebagian menahan tawa. Sebagian pura-pura tak tahu. Sebagian lagi berdiskusi, walau bisik-bisik.

“Wah, lupa memotong mereknya ya.”

“Mau direfund kali.” Cekikikan.

Muka Ajeng memanas. Aduh, cepet dong Karin.

Karin menyelesaikan puisi dan dengan gerakan yang lebih gemulai dari biasa meninggalkan tengah lapangan. Ajeng menyelinap di antara badan-badan, menyelusuri belakang barisan dan menarik Karin. Karin berusaha menepiskan helaan Ajeng. Ajeng mengencangkan tarikannya sampai akhirnya Karin mengalah dan mundur.

“Apaan sih?” Karin tak meleparkan pandangannya dari tempat Mas Agung berdiri.

Ajeng menelan ludah. Hatinya kecut. “Ka... kamu...” Bagaimana Karin yang sangat peduli dengan penampilan menerima berita ini?

“Apa sih?” Karin tidak sabar.

“Lupa...” Ajeng membersihkan kerongkongannya. “Merek baju.”

Muka Karin memucat. Tangannya gemetar merayapi punggungnya, menuju bawah tengkuk. Jarinya menyentuh merek itu. Mulut Karin terbuka dan tertutup tanpa suara. Matanya membelalak. Wajahnya penuh horror. Tanpa suara, dia membalikkan badan, membawa kakinya berlari, menjauh dari kerumunan orang.

Jantung Ajeng jatuh sampai dasar perutnya.

Karin menerima berita ini lebih buruk yang dia duga.

Biasanya, dia punya rasa humor. Setengah berlari Ajeng menyusul Karin. Ajeng belum sempat mencicipi gule Bu Faqih yang terkenal itu!

Yaaaa.

Karin deh.***



Newcastle, 61 tahun kemerdekaan Bumi Pertiwi



Box:

Muthmainnah, alias Maimon Herawati adalah salah satu penulis favorit Annida (1997) dengan serial fenomenal Pingkan, yang telah diterbitkan dan hingga kini masih dicetak ulang. Selain Pingkan, Maimon juga menulis beberapa buku seperti Tembang di Padang, Rahasia Dua Hati dan Muara Kasih. Penulis kelahiran Sijunjung, 15 Mei 1974 ini sekarang tinggal di Newcastle, Inggris, menemani suami studi di sana.


# Naskah ini pernah dimuat di Annida Nomor 01/XVI/September 2006

ATTENTION PLEASE...

Sabtu, Maret 28, 2009 Edit This 0 Comments »
Purbalingga Education, Career, and Scholarship Expo

Pelaksana : SMA N 1 PURBALINGGA
Waktu : 27 - 29 April 2009
Tempat : Gedung Kembar (Taman Reptil Purbalingga Jawa Tengah)

Kegiatan :
a. Seminar 1 :
"Anak Gunung Jadi Penemu"
Pembicara : DR. WARSITO, M.Eng (Ka MITI)
Moderator : Gangga Adi Purbalingga, S.Si (Director Purbalingga Research Institute)

b. Seminar 2 :
"Kiat melanjutkan studi lanjut ke perguruan tinggi"
Pembicara : Ka BEM KM UNY

c. Training Motivasi Pemuda-Pelajar :
Pembicara : Fatan Funtastic

d. Seminar 3 :
"Membangun jiwa entrepreneurship dan kiat2 menulis sejak dini"
Pembicara : Anif Sirsaeba, MBQ (Adik Kang Abik)

e. Lomba antar OSIS SMA/MA/SMK Se-Jateng (Kreativitas Membuat Proposal Kegiatan)

Peserta kegiatan :Pelajar dan Mahasiswa

Stan pendukung : UKM Center Purbalingga, BPR Syari'ah Purbalingga, IQRO' Club Purbalingga, Stand UNSOED, UNY.

Pendaftaran Peserta dan Stan Hub. : Sofistika Carevy Ediwindra (HP.081327545020) atau Ikapti Pusparani (HP. 081903196264) .

Sajadah-sajadah (oleh : Retno Wi)

Selasa, Maret 17, 2009 Posted In Edit This 0 Comments »
Siapa sih yang tak tahu sajadah. Barang yang hanya berupa lembaran kain dengan berbagai motif dan bahan itu sangat mudah kita jumpai. Bagi kebanyakan orang sajadah adalah sebuah kemestian ketika hendak melakukan shalat, terutama shalat jamaah. Walaupun sebagian masjid telah menyediakan karpet yang bagus dan mahal, tapi tetap saja sajadah seolah menjadi kebutuhan tersendiri.

Husna tidak menyalahkan keberadaan sajadah. Ia pun juga memiliki sajadah kesayangan. Adakalanya Husna sangat terbantu dengan sajadah, karena dapat menjadi alas ketika shalat, saat menyetrika, maupun saat ingin selonjor tanpa harus kedinginan. Tetapi kali ini Husna memang harus berpikir puluhan kali ketika akan menyertakan sajadah untuk shalat jamaah Maghrib di masjid dekat tempat kosnya. Kebiasaan barunya ini cukup menjengkelkan teman kosnya. Ke masjid selalu terlambat.

“Husnaaaa! Cepetan, ntar telat lagi, lho,” teriak Nina dari luar kamar. Tak ada jawaban.

Klek! Pintu kamar terbuka dan wajah bulat Nina menyembul dengan balutan mukena dari balik pintu.

“Lagi ngapain, sih? Cepet!”

Husna menoleh sekilas. Pandangannya kembali tertuju pada sajadah biru yang terlipat rapi di tepi dipan. Membawanya berarti menyertakan beban berat berton-ton ke masjid. Tapi kalaupun ditinggal bukan berarti masalah akan selesai.

“Bawa… nggak... bawa… nggak… bawa…” Husna menghitung kancing bajunya dengan serius.

“Kamu tuh, mau shalat jamaah apa nggak, sih? Atau mau berangkat sendiri?”

“Sebentar, dong. Lagi pusing, nih. Cerewet amat.”

Husna ragu-ragu menyentuh sajadahnya. Saat jemarinya hampir menyentuh bahan beludru itu, buru-buru ia menariknya. Nina berdecak sebal.

“Ya Allah, Husna. Kalau mau bawa ya bawa. Kalau nggak, ya nggak. Pusing amat!” Husna hanya membisu. “Udahlah aku berangkat duluan aja. Daripada menyaksikan orang yang sajadah-phobinya kumat.”

“Kalau kamu berangkat duluan, aku akan shalat sendiri aja di rumah.”

“Eh, masa gara-gara sajadah sampai nggak ke masjid? Ingat setelah shalat nanti ada rapat terakhir membahas persiapan pesantren adik-adik TPA yang tinggal tiga hari lagi.” Nina memperhatikan tetangga kamarnya dengan seksama. Wajah Husna benar-benar tampak bingung. Dengan sabar yang dipaksakan, akhirnya Nina menjajarinya di dipan. Ia tak lagi peduli dengan jarum jam yang terus bergerak ke arah angka tujuh.

“Sebenarnya ada apa sih?” Husna menatap mata Nina sesaat. Kepalanya lurus lagi.

“Aku, malu...”

“Malu? Malu dengan siapa? Dan kenapa? Tumben kamu yang biasanya cuek bisa malu. Lebih sering kamu itu bersikap yang malu-maluin.”

“Aku serius, Nin!”

“Oke, oke. Tapi kenapa?”

“Yang pasti aku malu gara-gara sajadah itu.”

“Eh, ingat tujuan kita. Kemarin kita bersepakat bahwa akan sering-sering shalat jamaah di masjid. Bukan hanya itu, kita pun tidak boleh mengambil tempat di shaf yang sama. Agar kita bisa membaur dengan remaja dan ibu-ibu yang lain. Katanya ingin membuat forum kajian untuk remaja dan ibu-ibu. Belum-belum sudah mutung. Kapan berhasil dakwah kita kalau seperti ini?”

Husna tersenyum dalam hati melihat Nina berkata sebijak itu. Dalam hati ia senang punya teman yang ceria dan baik seperti Nina. Yah, meskipun sering iseng dan jail.

“Katanya kita ini sodara. Kalau ada masalah kan harus dipecahkan bersama. Apalagi kalau ternyata masalahnya bisa menghambat tujuan mulia kita.”

“Baiklah, tapi kamu harus berjanji satu hal.”

“Oke.”

“Kamu harus serius.” Nina mengangguk mantap.

***

Awalnya Husna begitu senang membawa sajadah birunya ke masjid untuk shalat jamaah. Itu memang sajadah kesayangannya karena ia membeli dari hasil tabungannya. Ia pun berharap sajadahnya bisa membawa berkah. Siapa tahu ada orang yang juga membutuhkan alas shalat. Kalau hal itu terjadi peluang mendapat pahala semakin banyak. Dan ternyata impiannya tidak percuma.

“Terima kasih, Dek. Tadi saya buru-buru ke masjid. Jadi lupa nggak bawa sajadah.” Seorang ibu setengah baya tersenyum ramah ketika Husna membagi sajadah dengannya. Tapi rasa senang itu tidak berlangsung lama. Saat shalat mulai tampaklah sebuah permasalahan yang bagi Husna tidak bisa diremehkan. Shaf shalat tidak rapat. Padahal Umar bin Khattab pernah merapikan shaf dengan pedangnya karena begitu pentingnya shaf yang rapat dan lurus agar tidak ada celah bagi setan untuk mengganggu.

Saat shalat, manusia harus melepaskan semua atribut dunianya. Tak ada lagi perbedaan pangkat, golongan dan kekayaan. Semua jamaah shalat bersatu dan taat kepada sang imam. Tak ada lagi sekat sosial. Yang ada, hanya ketundukan pada Sang Khalik.

Husna meyakini bahwa penyebab utama dari fenomena yang ada di depannya bisa jadi karena mereka tidak tahu betapa pentingnya shaf shalat yang rapat dan rapi. Dan kondisi itu diperparah dengan sajadah. Para jamaah shalat lebih memilih posisi di tengah sajadah masing-masing. Mereka tidak peduli adanya ruang kosong akibat sajadah yang digelar. Bahkan ada beberapa orang yang tanpa beban meletakkan sajadahnya sehasta di sebelah sajadah lainnya. Padahal kalau mau, tempat itu masih bisa diisi satu orang lagi. Tapi entahlah, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan jika kesalahan dilakukan bersama maka statusnya kan berubah menjadi benar.

Sebenarnya sang imam selalu mengingatkan agar merapatkan dan meluruskan shaf sebelum shalat. Tapi seruan imam itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Buktinya setiap hari kondisinya selalu sama. Dan Husna bertekad akan berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang ada. Baginya ini adalah peluang amal yang harus dimanfaatkan.

***

Husna membalas tatapan sinis seorang ibu muda dengan senyum termanisnya. Ibu muda itu kelihatan dari orang yang cukup berada. Mukenanya jelas tergolong mahal, tapi sayang wajahnya tidak ramah. Kalau ia mau tersenyum sedikit saja, pasti kelihatan sangat cantik. Merasa senyumnya tak terbalas, Husna menjadi jengah.

“Ehm… maaf, Tante. Apa ada yang salah dengan saya?” Husna bertanya dengan hati-hati. Suaranya dibuat sepelan mungkin agar tidak mengganggu yang lain.

“Lho, nggak nyadar juga. Tampangnya, sih mahasiswa tapi nggak tahu sopan santun!” jawabnya pedas. Meskipun suara si Tante pelan tapi cukup membuat wajah-wajah di sekitar mereka menoleh.

“Mbak, kenapa nempel-nempel dekat saya? Seenaknya saja menumpuki sajadah saya dengan sajadah murahan! Ini sajadah mahal, saya beli dari Arab saat umrah seminggu yang lalu. Harganya satu juta lebih. Emang kalau lecek dan rusak bisa ngganti?”

Muka Husna seperti disiram lahar Merapi yang baru keluar dari kawah. Wajahnya memerah, telinganya memanas dan kelopak matanya membasah pelan. Pandangannya segera terpaku pada sajadah biru yang menutupi sebagian sajadah si Tante. Dia melakukan semua itu karena ingin shaf shalat menjadi rapat. Apalagi posisinya yang ada di ujung paling kiri barisan membuatnya harus mendekat ke arah kanan. Tapi Husna benar-benar tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu.

“Maaf Tante, saya hanya tidak ingin shaf-nya renggang.” Husna berkata sehalus mungkin.

“Tidak usah menggurui, saya sudah pernah naik haji dan umrah dua kali.”

Dengan cepat si Tante berdiri dan menyambar sajadah mahalnya. Ia bergegas ke barisan belakang. Tinggallah Husna yang menjadi sorotan berpuluh pasang mata dengan berjuta ekspresi. Ada ekspresi simpati karena kasihan, ekspresi gemes dan gregetan, ekspresi geli karena menahan tawa sampai yang cuek seolah tak terjadi apa-apa. Husna tidak lagi peduli dengan tatapan mata yang tertuju kepadanya. Yang ia rasakan cuma satu: malu!

***

Husna mulai hati-hati bersikap, karena tak semua niat baik berbuntut manis. Kali lain ia duduk di sebelah seorang gadis sebaya. Sajadah gadis itu cukup lebar hampir dua kali sajadahnya.

“Maaf, Mbak. Boleh saya letakkan sajadah saya di bawah sajadah Mbak?”

“Tapi, apa Mbak nggak takut sajadahnya kotor?” Si Gadis agak ragu.

“Insya Allah, nggak apa-apa. Saya cuma ingin shaf shalat kita rapat. Kan setiap mau shalat kita selalu diingatkan imam untuk meluruskan dan merapikan shaf.”

“Oo, begitu, ya. Silakan kalau begitu.”

Setelah mendapat izin, Husna meletakkan sajadahnya di bawah sajadah merah si Gadis.

“Kalau boleh saya tahu, kenapa sih Mbak kita harus rapat shafnya?”

Husna merasa mendapat respon positif. Dia tidak ingin menyiakan kesempatan baik itu.

“Dalam shalat berjamaah, kerapatan shaf merupakan salah satu syarat diterimanya shalat. Kita adalah umat yang satu dan harus tunduk dengan setiap perintah imam. Tak ada lagi perbedaan pejabat dan rakyat biasa, orang kaya dan miskin. Semua menjadi sama di hadapan Allah. Shaf yang rapat juga mencerminkan eratnya hubungan orang muslim, sehingga tidak mudah dipecah belah. Jadi siapapun yang shalat di sebelah kita, kita harus merapatkan shaf dengannya. Shaf yang tidak rapat berarti menyediakan tempat untuk setan yang akan selalu mengganggu kita. Jadi dengan shaf yang rapi, akan membantu kita khusyu’ dalam shalat. Kalau saat kita menghadap Allah saja masih tidak dapat bersatu dan bersama dengan yang lain, bagaimana kita bisa rukun dalam kehidupan sehari-hari?”

Si Gadis mengangguk-angguk dan menyambut hangat seruan Husna. Tapi sambutan hangat itu segera lenyap ketika seorang nenek menghampiri mereka.

“Neng, kenapa sajadah saya dipake? Nenek itu baru belajar shalat dan harus pake sajadah biar nggak kedinginan. Masa baru ditinggal wudhu sebentar sajadah sudah lenyap. Di tempat suci begini kok masih sempat ngembat barang orang.”

Husna berusaha tersenyum dengan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

“Maaf, Nek, saya dari tadi di sini. Dan ini sajadah saya. Mungkin Nenek lupa menaruh sajadah Nenek.” Husna menjaga kalimatnya dengan hati-hati. Gadis di sebelahnya meliriknya curiga.

“Kalau itu memang sajadah Neng, kenapa mesti disembunyikan di bawah sajadah orang lain?” tangan si Nenek menunjuk sajadahnya yang tertutup oleh sajadah si Gadis.

Tiba-tiba si Gadis berdiri.

“Maaf, Mbak. Saya setuju dengan shaf yang rapat, tapi saya nggak mau sajadah saya dijadikan tempat menyembunyikan barang curian. Apalagi dengan kedok merapatkan shaf.” Husna ingin menjelaskan lebih jauh tapi si Gadis terlanjur pergi.

***

Tawa Nina hampir meledak. Ia tutup mulutnya agar tidak bersuara karena teringat pesan Husna. Setelah berhasil menguasai diri ia mulai bersuara .

“Kok nasibmu sial banget. Trus, si Nenek gimana?”

“Pas si Gadis pergi, si Nenek baru sadar bahwa sajadahku memang berbeda, hanya mirip saja. Dia baru ingat bahwa sajadahnya dititipkan ke cucunya.”

“Ya udah, mending nggak usah bawa saja.”

“Sudah kucoba kemarin.”

“Trus hasilnya?”

“Aku harus mencuci mukenaku.”

“Apa hubungannya?”

“Kemarin aku kan telat, terpaksa shalat di teras yang basah karena hujan. Dan tidak ada seorang pun yang membagi sajadahnya untukku. Malah mereka memandang aneh padaku.” Nina mendengus prihatin sekaligus salut dengan upaya keras Husna untuk mengubah budaya shaf yang tidak rapat.

“Ya, sudah. Kesepakatan untuk berpencar selama shalat jamaah kita cabut saja dulu. Untuk shaf yang rapat sepertinya kita harus memberi contoh.”

“Maksudnya?”

“Kita shalat bersebelahan saja. Biar orang-orang melihat kelurusan dan kerapian shaf kita. Sekalian kita mencoba memahamkan tentang pentingnya shaf yang rapat dan lurus. Mungkin perlu kita sosialisasikan lebih gencar. Bisa lewat mading, atau buletin.”

“Sepertinya itu ide yang bagus. Tapi sekarang aku bawa sajadah nggak?”

“Aduuuh! Sajadah lagi, sajadah lagi. Nggak usah bawa aja dulu. Ntar bermasalah lagi.”

Berdua, mereka segera bergegas ke Masjid As Syuhada.. Sampai di masjid, suasana begitu lengang. Shaat Isya telah dimulai. Mereka segera mencari tempat. Shaf shalat memang banyak yang tidak rapat, tapi sepertinya tidak muat kalau diisi, apalagi untuk dua orang sekaligus.

“Sudah, kamu di sini aja. Aku akan mencari tempat lain. Ntar keburu habis shaat Isyanya. Sepertinya ini rakaat terakhir.”

“Tapi kamu kan, nggak bawa sajadah.”

“Nggak apa-apa. Hari ini kan, tidak hujan jadi lantainya nggak basah.”

Setelah bersusah payah akhirnya Husna menemukan tempat yang berada di sela-sela shaf. Sekilas Husna melirik ke kiri, dan dia agak terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang sudah shalat di sebelahnya adalah nenek yang menuduhnya mencuri beberapa hari lalu. Sebenarnya Husna ingin mencari tempat lain. Tapi selain susah, juga akan menyita banyak waktu. Husna hampir saja melakukan takbiratul ikram ketika si Nenek menoleh dan tersenyum ke arahnya. Belum hilang rasa kagetnya, si Nenek malah membungkuk dan mengambil sajadahnya. Si Nenek berbagi sajadah dengannya. Reflek Husna menolak.

“Lho, Nek nggak usah. Nenek shalat saja.” Spontan Husna bicara pada Nenek yang seharusnya masih shalat. Ia tidak sadar berbuat salah dengan mengajak bicara orang yang sedang shalat.

“Nggak apa-apa. Maaf ya, kejadian kemarin.” Dengan santai si Nenek melanjutkan shalatnya seolah tidak terjadi apa-apa. Tinggal Husna yang kebingungan dengan semua yang terjadi. Ah, kalau saja aku tadi membawa sajadah pasti pasti Nenek tidak perlu berbuat begitu. Pe-er shaf belum selesai sudah ditambah pe-er Nenek yang harus diajari tentang tata cara shalat yang benar. Semoga ini adalah ladang amal baru yang bisa menjadi pendulang pahala.



Jember, Ramadhan 1425 H

Saat tarawih di Masjid As Syuhada BTN Mastrip

SYAIR: Teruntuk Saudara Se-Iman-ku

Selasa, Maret 17, 2009 Edit This 0 Comments »
Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia...................... Allah tahu betapa engkau telah berjerih payah

Jika engkau sudah menangis sekian lama dan hatimu merasa terasa perih.......................
Allah sudah menghitung dentingan air matamu

Jika engkau pikir bahwa hidupmu sedang menanti sesuatu dan waktu serasa berlalu......................
Allah sedang menanti bersamamu

Jika engkau merasa sendirian dan saudaramu sibuk dengan banyak urusan...............
Allah senantiasa berada didekatmu

Ketika engkau berpikir, engkau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu harus berbuat apalagi..............
Allah punya jawabnya

Ketika segala sesuatu tidak masuk akal dan engkau merasa tertekan.........
Allah mampu menenangkanmu

Jika engkau merasa ada jejak-jejak harapan.....................
Allah sedang berbisik kepadamu

Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan engkau merasa ingin mengucap syukur...................
Allah telah memberkahimu

Ketika sesuatu yang indah terjadi dan engkau dipenuhi ketakjuban.................
Allah telah tersenyum padamu

Ketika engkau mempunyai tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi................
Allah telah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu

Ingatlah saudaraku..................
Dimanapun engkau dan kemanapun engkau menghadap....................
TUHAN TAHU......................

SOSOK ILMUWAN MUSLIM IDEAL ABAD 21

Selasa, Maret 17, 2009 Edit This 0 Comments »
Manusia muslim adalah makhluk unik yang jika dikembangkan sesuai dengan identitasnya dapat menjadi pencerahan baru bagi masyarakat di sekitarnya. Hanya saja berapa banyak image negatif yang ditujukan terkait manusia muslim. Pada akhir tahun 90-an muncul istilah-istilah yang mengidentikkan manusia muslim dengan teroris, ekstrim, radikal dan fundamentalis. Di sisi lain banyak pula manusia muslim yang mencoba untuk berfikir liberal, menjadi kaum hedonis, bahkan ada juga yang sekuler. Dalam beberapa dekade ini, kaum muslimin berada dalam sejarah yang kelam yang membutuhkan kehadiran manusia-manusia muslim untuk memandu mereka keluar dari kondisi ini dan mengembalikan kejayaannya. Begitupun dalam lingkup ilmu pengetahuan dan teknologi, dibutuhkan sosok manusia muslim ideal yang mampu mengembalikan ilmu dan teknologi pada khasanahnya, sehingga selayaknya sebagai sebuah ilmu, manfaatnya akan dirasakan secara menyeluruh oleh umat manusia. Pertanyaannya adalah “seperti apakah ilmuwan muslim ideal tersebut?” Dan “bagaimana langkah metodologi supaya menjadi manusia muslim yang ideal tersebut?”
Seorang ilmuwan muslim dirancang untuk mengemban misi peradaban dan kemajuan umat. Model ilmuwan muslim diibaratkan seperti sebuah bangunan yang utuh. Bangunan ini memuat visi, misi, jalan hidup, kompetensi, profesionalitas, kontribusi dan nilai-nilai lain yang seharusnya ada dan mampu membentuk paradigma, mentalitas, dan karakter seseorang tanpa mengesampingkan keunikannya secara individu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia terletak pada budi pekerti manusia yang terpuji. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yang meliputi pengetahuan dan pengamalan (ilmu dan amal). Lebih lanjut Al- Kindi membagi bagian asas ini ke dalam tiga bagian, yakni hikmah (kebijaksanaan), saj’ah (keberanian) dan iffah (kesucian). Dari sini, kita dapat melihat adanya keterpaduan antara value and action, contohnya ketika seorang ilmuwan diberikan big proyek mengolah tanaman tembakau, seharusnya dia berfikir bagaimana produk yang dihasilkan bukan sesuatu yang dapat menimbulkan potensi merusak generasi umat ex rokok, tapi ada value yang harus diambil, yakni menyelamatkan generasi masa depan itu lebih penting dari sebuah materi. Maka action-nya adalah sosok ini mampu memberikan alternatif perspektif dalam berbagai konteks untuk mengolah tembakau dengan persfektif yang lain. Dalam fiqh prioritas dikatakan bahwa mendahulukan menghindari kemudharatan lebih penting daripada mengambil manfaatnya.
Dalam teori pragmatik menurut Pierce, dikatakan bahwa orang mengadakan penelitian berarti sedang mencari keyakinan, dan keyakinan tentang kebenaran dapat diperoleh dengan cara mencari kebenaran dalam praktik. Ilmulah yang menuntun, menunjuki dan membimbing seseorang kepada amal.
”... apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.“ Az-Zumar 9).

Sejak pertengahan abad XX, konsep pure research (pengembangan ilmu murni) dan applied research (pengembangan ilmu terapan) telah bergeser manjadi basic research dan technological research. Basic research mengembangkan teori berdasarkan hakikat obyek ilmu itu sendiri, sedangkan pada technological research, dengan modal temuan basic research sekaligus konsep dan operasionalnya dikembangkan menjadi rekayasa-rekayasa (engineering dan teknologi) sesuai dengan kepentingan operasional tertentu, itulah rekayasa teknologi.
Dalam tahap ini, dibutuhkan adanya applied ethics yang merupakan aplikasi moral (akhlak) yang menyangkut kebijaksanaan profesional dalam membuat keputusan teknologi. Kriterianya dapat digali dari tarbiyah akhlak, HAM, dan keadilan, sehingga keputusan teknologi yang akan digulirkan mendahulukan asas manfaat dan mendahulukan menghindari kemudharatan daripada mengambil manfaat.
Temuan DNA, temuan atom dan temuan penisilin sebagai temuan basic research memang sangat hebat. Pengembangan DNA untuk teknologi genetik memiliki prosfek yang sangat bagus, sekaligus membuka masalah dalam penggunaannya dan juga aksesnya. Begitupun dengan temuan atom dan penisilin akan membawa dampak baik dan juga buruk bagi para penggunanya. Contoh ditemukannya unsur radioaktif uranium disatu sisi membuka peluang yang sangat luar biasa bagi pengembangan energi alternatif dunia lewat pemanfaatan teknologi nuklir yang memakai bahan dasar uranium, namun disis lain membuka peluang yang sangat luar biasa bahayanya jika ini digunakan untuk pembuatan senjata nuklir (seperti yang diungkapkan oleh Mordecai Vanunu tentang pengembangan senjata pemusnah masal di gurun Nevada Amerika).
Pengembangan dunia industri tidak kalah pesatnya, satu sisi membawa dampak positif bagi kesejahteraan umat, namun disisi lain hal ini menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dimana-mana. Kecenderungan pencemaran akhir-akhir ini mengacu pada dua hal, pertama adanya pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang semakin meningkat seperti yang dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kedua, meningkatnya penggunaan bahan-bahan beracun berbahaya (B3) dalam proses industri yang semakin mencemari lingkungan. Dari sebab itulah, timbul masalah yang semakin meluas, antara lain pemanasan global, hujan asam (acid rain), menipisnya lapisan ozon, pencemaran bahan radioaktif, dan lain-lain. Dalam menangani kasus tersebut, uji terhadap kelayakan dan batas ambang bahan-bahan yang digunakan menjadi lebih diperketat. Masalah berikutnya adalah bagaimana tanggungjawab etika terhadap serangkaian uji tersebut?
Adapun dampak sosial pengembangan teknologi setidaknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individual dan dampak pada kualitas hidup sosial secara menyeluruh. Sebagai contoh ditemukannya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup memberi dampak pada manusia. Disatu siis memang dapat meningkatkan kualitas genetika manusia, namun jika salah dalam menanganinya akan menghancurkan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah.

Lalu bagaimana caranya menjadi sosok ilmuwan muslim ideal?
Standarisasi konsep manusia muslim adalah nilai Islam sedangkan aku sebagai ilmuwan dan aku sebagai insan sosial adalah variabel yang harus dijadikan standar dalam membimbing diri. Aku sebagai ilmuwan merupakan pemahaman diri yang efeknya memberikan ketenangan karena memahami siapa diri sebagai pribadi. Aku ilmuwan sebagai insan sosial memberikan rasa penerimaan, apakah aktivitasku (baik dalam riset maupun pengembangan ilmu sebagai basic research) dapat diterima dalam kehidupan sosial atau tidak. Aku ilmuwan sebagai sosok ideal adalah bagaimana aku dengan ilmuku menjadi benar. Konsep semacam ini harus dipahami oleh para ilmuwan. Dengan memahami konsep diri yang jelas akan mengetahui secara fokus apa yang akan dikontribusikan. Dengan konsep diri yang jelas akan mengetahui sejauh mana manusia mempunyai arah. Artinya, ada kesesuaian antara ilmuwan sebagi individu, sebagai insan sosial dan sebagai sosok yang penuh inovasi dan idealisme agar setiap ilmuwan muslim mempunyai tujuan dan arah dalam mengembangkan inovasinya.
Orientasi pembentukan manusai muslim secara umum adalah menciptakan manusia yang memiliki imunitas terhadap lingkungan yang tidak islami, daya tangkal terhadap pengaruh negatif atau daya seleksi terhadap pengaruh positif. Ada dua jenis imunitas yang harus dimiliki, yakni imunitas ideologi dimana seseorang tidak terpengaruh gagasan berbahaya yang dapat menghancurkan kehidupan umat manusia dan gagasan tersebut sedang menjadi main stream wacana pemikikiran, contoh liberalisasi dan sekulerisasi ilmu dan agama. Kedua imunitas mental, yakni kepekaan seseorang terhadap kemunkaran yang terjadi di sekelilingnya. Semangat ubudiyah dan spiritualnya tidak terdegradasi oleh pengaruh gemerlapnya kehidupan duniawi.
Untuk menjaga imunitas tersebut, setiap manusia muslim diharuskan untuk senantiasa menutupi kelemahan-kelemahan dengan ilmu yang luas serta ibadah yang banyak dan khusyuk. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan sebuah proses pembinaan (kaderisasi). Proses kaderisasi ini merupakan proses yang sangat strategis karena sebagai salah satu faktor penentu hidup matinya suatu masyarakat, organisasi ataupun peradaban. Hasan Al-Banna mengatakan:
Kader adalah rahasia kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebangkitan mereka. Sejarah bnagsa-bangsa seluruhnya tidak lain adalah sejarah para kader yang berjiwa besar dan berkemauan kuat. Kuat dan lemahnya suatu bangsa diukur dengan tingkat kesuburannya dalam melahirkan para kader yang memenuhi syarat kaderisasi yang benar itu. Saya yakin- dan sejarah telah membuktikan- bahwa seorang kader saja dapat membangun bangsa jika kaderisasinya menuju arah yang benar. Ia juga mampu menghancurkan bangsa itu jika kaderisasinya diarahkan ke tujuan destruktif, bukan konstruktif.

Menurut Anis Matta, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaderisasi merupakan proses pembinaan atau rekayasa sosial (social engineering) atau suatu proses rekonstruksi untuk membangun inti dari peradaban umat. Maka dapat dikatakan bahwa tahapan pertama yang harus dilakuakn untuk membentuk ilmuwan muslim ideal adalah melalui pembinaan. Proses pembinaan ini akan mengarahkan individu pada pembentukan imunitas ideologi dan mental, serta mampu menyelesaikan problematika umat sesuai wilayah spesialisasinya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Rad: 11)

Ilmuwan muslim merupakan aset yang sangat berharga bagi umat dan ini adalah hal yang harus dipikirkan secara serius bagi keberlangsungan peradaban umat. Hasil dari suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh siapa pelakunya. Identitas diri sebagai muslim bukan hanya sekedar identitas simbol atau label semua umat yang mengaku Islam, tapi dia harus terinternalisasi dalam ruang-ruang kepribadian yang tercermin dalam value and action-nya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika perbaikan diri ilmuwan muslim secara personal dilakuakn secara berkelanjutan dan berkesinambungan, niscaya perbaikan dan pengembangan khasanah ilmu dan teknologi akan segera terwujud. Dengan kata lain lewat sosok ini telah mulai dibangun kembali peradaban untuk menciptakan peradaban baru bagi kebangkitan umat Islam. Harus diingat bahwa setiap disiplin ilmu akan memiliki norma-norma (etika) tertentu yang harus diterima begitu saja tanpa verifikasi lebih lanjut. Paradigma ini memetakan arah semua penyelidikan ilmiah yang terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses penanaman etika (akhlak) khusus untuk para ilmuwan. Sehingga hipotesis, penelitian dan produk sebagai kesimpulan yang dihasilkan sebagai hasil telaah ataupun riset sesuai dengan hukum alam dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)