SOSOK ILMUWAN MUSLIM IDEAL ABAD 21
Selasa, Maret 17, 2009 Edit This 0 Comments »
Manusia muslim adalah makhluk unik yang jika dikembangkan sesuai dengan identitasnya dapat menjadi pencerahan baru bagi masyarakat di sekitarnya. Hanya saja berapa banyak image negatif yang ditujukan terkait manusia muslim. Pada akhir tahun 90-an muncul istilah-istilah yang mengidentikkan manusia muslim dengan teroris, ekstrim, radikal dan fundamentalis. Di sisi lain banyak pula manusia muslim yang mencoba untuk berfikir liberal, menjadi kaum hedonis, bahkan ada juga yang sekuler. Dalam beberapa dekade ini, kaum muslimin berada dalam sejarah yang kelam yang membutuhkan kehadiran manusia-manusia muslim untuk memandu mereka keluar dari kondisi ini dan mengembalikan kejayaannya. Begitupun dalam lingkup ilmu pengetahuan dan teknologi, dibutuhkan sosok manusia muslim ideal yang mampu mengembalikan ilmu dan teknologi pada khasanahnya, sehingga selayaknya sebagai sebuah ilmu, manfaatnya akan dirasakan secara menyeluruh oleh umat manusia. Pertanyaannya adalah “seperti apakah ilmuwan muslim ideal tersebut?” Dan “bagaimana langkah metodologi supaya menjadi manusia muslim yang ideal tersebut?”
Seorang ilmuwan muslim dirancang untuk mengemban misi peradaban dan kemajuan umat. Model ilmuwan muslim diibaratkan seperti sebuah bangunan yang utuh. Bangunan ini memuat visi, misi, jalan hidup, kompetensi, profesionalitas, kontribusi dan nilai-nilai lain yang seharusnya ada dan mampu membentuk paradigma, mentalitas, dan karakter seseorang tanpa mengesampingkan keunikannya secara individu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia terletak pada budi pekerti manusia yang terpuji. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yang meliputi pengetahuan dan pengamalan (ilmu dan amal). Lebih lanjut Al- Kindi membagi bagian asas ini ke dalam tiga bagian, yakni hikmah (kebijaksanaan), saj’ah (keberanian) dan iffah (kesucian). Dari sini, kita dapat melihat adanya keterpaduan antara value and action, contohnya ketika seorang ilmuwan diberikan big proyek mengolah tanaman tembakau, seharusnya dia berfikir bagaimana produk yang dihasilkan bukan sesuatu yang dapat menimbulkan potensi merusak generasi umat ex rokok, tapi ada value yang harus diambil, yakni menyelamatkan generasi masa depan itu lebih penting dari sebuah materi. Maka action-nya adalah sosok ini mampu memberikan alternatif perspektif dalam berbagai konteks untuk mengolah tembakau dengan persfektif yang lain. Dalam fiqh prioritas dikatakan bahwa mendahulukan menghindari kemudharatan lebih penting daripada mengambil manfaatnya.
Dalam teori pragmatik menurut Pierce, dikatakan bahwa orang mengadakan penelitian berarti sedang mencari keyakinan, dan keyakinan tentang kebenaran dapat diperoleh dengan cara mencari kebenaran dalam praktik. Ilmulah yang menuntun, menunjuki dan membimbing seseorang kepada amal.
”... apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.“ Az-Zumar 9).
Sejak pertengahan abad XX, konsep pure research (pengembangan ilmu murni) dan applied research (pengembangan ilmu terapan) telah bergeser manjadi basic research dan technological research. Basic research mengembangkan teori berdasarkan hakikat obyek ilmu itu sendiri, sedangkan pada technological research, dengan modal temuan basic research sekaligus konsep dan operasionalnya dikembangkan menjadi rekayasa-rekayasa (engineering dan teknologi) sesuai dengan kepentingan operasional tertentu, itulah rekayasa teknologi.
Dalam tahap ini, dibutuhkan adanya applied ethics yang merupakan aplikasi moral (akhlak) yang menyangkut kebijaksanaan profesional dalam membuat keputusan teknologi. Kriterianya dapat digali dari tarbiyah akhlak, HAM, dan keadilan, sehingga keputusan teknologi yang akan digulirkan mendahulukan asas manfaat dan mendahulukan menghindari kemudharatan daripada mengambil manfaat.
Temuan DNA, temuan atom dan temuan penisilin sebagai temuan basic research memang sangat hebat. Pengembangan DNA untuk teknologi genetik memiliki prosfek yang sangat bagus, sekaligus membuka masalah dalam penggunaannya dan juga aksesnya. Begitupun dengan temuan atom dan penisilin akan membawa dampak baik dan juga buruk bagi para penggunanya. Contoh ditemukannya unsur radioaktif uranium disatu sisi membuka peluang yang sangat luar biasa bagi pengembangan energi alternatif dunia lewat pemanfaatan teknologi nuklir yang memakai bahan dasar uranium, namun disis lain membuka peluang yang sangat luar biasa bahayanya jika ini digunakan untuk pembuatan senjata nuklir (seperti yang diungkapkan oleh Mordecai Vanunu tentang pengembangan senjata pemusnah masal di gurun Nevada Amerika).
Pengembangan dunia industri tidak kalah pesatnya, satu sisi membawa dampak positif bagi kesejahteraan umat, namun disisi lain hal ini menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dimana-mana. Kecenderungan pencemaran akhir-akhir ini mengacu pada dua hal, pertama adanya pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang semakin meningkat seperti yang dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kedua, meningkatnya penggunaan bahan-bahan beracun berbahaya (B3) dalam proses industri yang semakin mencemari lingkungan. Dari sebab itulah, timbul masalah yang semakin meluas, antara lain pemanasan global, hujan asam (acid rain), menipisnya lapisan ozon, pencemaran bahan radioaktif, dan lain-lain. Dalam menangani kasus tersebut, uji terhadap kelayakan dan batas ambang bahan-bahan yang digunakan menjadi lebih diperketat. Masalah berikutnya adalah bagaimana tanggungjawab etika terhadap serangkaian uji tersebut?
Adapun dampak sosial pengembangan teknologi setidaknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individual dan dampak pada kualitas hidup sosial secara menyeluruh. Sebagai contoh ditemukannya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup memberi dampak pada manusia. Disatu siis memang dapat meningkatkan kualitas genetika manusia, namun jika salah dalam menanganinya akan menghancurkan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah.
Lalu bagaimana caranya menjadi sosok ilmuwan muslim ideal?
Standarisasi konsep manusia muslim adalah nilai Islam sedangkan aku sebagai ilmuwan dan aku sebagai insan sosial adalah variabel yang harus dijadikan standar dalam membimbing diri. Aku sebagai ilmuwan merupakan pemahaman diri yang efeknya memberikan ketenangan karena memahami siapa diri sebagai pribadi. Aku ilmuwan sebagai insan sosial memberikan rasa penerimaan, apakah aktivitasku (baik dalam riset maupun pengembangan ilmu sebagai basic research) dapat diterima dalam kehidupan sosial atau tidak. Aku ilmuwan sebagai sosok ideal adalah bagaimana aku dengan ilmuku menjadi benar. Konsep semacam ini harus dipahami oleh para ilmuwan. Dengan memahami konsep diri yang jelas akan mengetahui secara fokus apa yang akan dikontribusikan. Dengan konsep diri yang jelas akan mengetahui sejauh mana manusia mempunyai arah. Artinya, ada kesesuaian antara ilmuwan sebagi individu, sebagai insan sosial dan sebagai sosok yang penuh inovasi dan idealisme agar setiap ilmuwan muslim mempunyai tujuan dan arah dalam mengembangkan inovasinya.
Orientasi pembentukan manusai muslim secara umum adalah menciptakan manusia yang memiliki imunitas terhadap lingkungan yang tidak islami, daya tangkal terhadap pengaruh negatif atau daya seleksi terhadap pengaruh positif. Ada dua jenis imunitas yang harus dimiliki, yakni imunitas ideologi dimana seseorang tidak terpengaruh gagasan berbahaya yang dapat menghancurkan kehidupan umat manusia dan gagasan tersebut sedang menjadi main stream wacana pemikikiran, contoh liberalisasi dan sekulerisasi ilmu dan agama. Kedua imunitas mental, yakni kepekaan seseorang terhadap kemunkaran yang terjadi di sekelilingnya. Semangat ubudiyah dan spiritualnya tidak terdegradasi oleh pengaruh gemerlapnya kehidupan duniawi.
Untuk menjaga imunitas tersebut, setiap manusia muslim diharuskan untuk senantiasa menutupi kelemahan-kelemahan dengan ilmu yang luas serta ibadah yang banyak dan khusyuk. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan sebuah proses pembinaan (kaderisasi). Proses kaderisasi ini merupakan proses yang sangat strategis karena sebagai salah satu faktor penentu hidup matinya suatu masyarakat, organisasi ataupun peradaban. Hasan Al-Banna mengatakan:
Kader adalah rahasia kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebangkitan mereka. Sejarah bnagsa-bangsa seluruhnya tidak lain adalah sejarah para kader yang berjiwa besar dan berkemauan kuat. Kuat dan lemahnya suatu bangsa diukur dengan tingkat kesuburannya dalam melahirkan para kader yang memenuhi syarat kaderisasi yang benar itu. Saya yakin- dan sejarah telah membuktikan- bahwa seorang kader saja dapat membangun bangsa jika kaderisasinya menuju arah yang benar. Ia juga mampu menghancurkan bangsa itu jika kaderisasinya diarahkan ke tujuan destruktif, bukan konstruktif.
Menurut Anis Matta, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaderisasi merupakan proses pembinaan atau rekayasa sosial (social engineering) atau suatu proses rekonstruksi untuk membangun inti dari peradaban umat. Maka dapat dikatakan bahwa tahapan pertama yang harus dilakuakn untuk membentuk ilmuwan muslim ideal adalah melalui pembinaan. Proses pembinaan ini akan mengarahkan individu pada pembentukan imunitas ideologi dan mental, serta mampu menyelesaikan problematika umat sesuai wilayah spesialisasinya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Rad: 11)
Ilmuwan muslim merupakan aset yang sangat berharga bagi umat dan ini adalah hal yang harus dipikirkan secara serius bagi keberlangsungan peradaban umat. Hasil dari suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh siapa pelakunya. Identitas diri sebagai muslim bukan hanya sekedar identitas simbol atau label semua umat yang mengaku Islam, tapi dia harus terinternalisasi dalam ruang-ruang kepribadian yang tercermin dalam value and action-nya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika perbaikan diri ilmuwan muslim secara personal dilakuakn secara berkelanjutan dan berkesinambungan, niscaya perbaikan dan pengembangan khasanah ilmu dan teknologi akan segera terwujud. Dengan kata lain lewat sosok ini telah mulai dibangun kembali peradaban untuk menciptakan peradaban baru bagi kebangkitan umat Islam. Harus diingat bahwa setiap disiplin ilmu akan memiliki norma-norma (etika) tertentu yang harus diterima begitu saja tanpa verifikasi lebih lanjut. Paradigma ini memetakan arah semua penyelidikan ilmiah yang terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses penanaman etika (akhlak) khusus untuk para ilmuwan. Sehingga hipotesis, penelitian dan produk sebagai kesimpulan yang dihasilkan sebagai hasil telaah ataupun riset sesuai dengan hukum alam dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
Seorang ilmuwan muslim dirancang untuk mengemban misi peradaban dan kemajuan umat. Model ilmuwan muslim diibaratkan seperti sebuah bangunan yang utuh. Bangunan ini memuat visi, misi, jalan hidup, kompetensi, profesionalitas, kontribusi dan nilai-nilai lain yang seharusnya ada dan mampu membentuk paradigma, mentalitas, dan karakter seseorang tanpa mengesampingkan keunikannya secara individu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia terletak pada budi pekerti manusia yang terpuji. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yang meliputi pengetahuan dan pengamalan (ilmu dan amal). Lebih lanjut Al- Kindi membagi bagian asas ini ke dalam tiga bagian, yakni hikmah (kebijaksanaan), saj’ah (keberanian) dan iffah (kesucian). Dari sini, kita dapat melihat adanya keterpaduan antara value and action, contohnya ketika seorang ilmuwan diberikan big proyek mengolah tanaman tembakau, seharusnya dia berfikir bagaimana produk yang dihasilkan bukan sesuatu yang dapat menimbulkan potensi merusak generasi umat ex rokok, tapi ada value yang harus diambil, yakni menyelamatkan generasi masa depan itu lebih penting dari sebuah materi. Maka action-nya adalah sosok ini mampu memberikan alternatif perspektif dalam berbagai konteks untuk mengolah tembakau dengan persfektif yang lain. Dalam fiqh prioritas dikatakan bahwa mendahulukan menghindari kemudharatan lebih penting daripada mengambil manfaatnya.
Dalam teori pragmatik menurut Pierce, dikatakan bahwa orang mengadakan penelitian berarti sedang mencari keyakinan, dan keyakinan tentang kebenaran dapat diperoleh dengan cara mencari kebenaran dalam praktik. Ilmulah yang menuntun, menunjuki dan membimbing seseorang kepada amal.
”... apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.“ Az-Zumar 9).
Sejak pertengahan abad XX, konsep pure research (pengembangan ilmu murni) dan applied research (pengembangan ilmu terapan) telah bergeser manjadi basic research dan technological research. Basic research mengembangkan teori berdasarkan hakikat obyek ilmu itu sendiri, sedangkan pada technological research, dengan modal temuan basic research sekaligus konsep dan operasionalnya dikembangkan menjadi rekayasa-rekayasa (engineering dan teknologi) sesuai dengan kepentingan operasional tertentu, itulah rekayasa teknologi.
Dalam tahap ini, dibutuhkan adanya applied ethics yang merupakan aplikasi moral (akhlak) yang menyangkut kebijaksanaan profesional dalam membuat keputusan teknologi. Kriterianya dapat digali dari tarbiyah akhlak, HAM, dan keadilan, sehingga keputusan teknologi yang akan digulirkan mendahulukan asas manfaat dan mendahulukan menghindari kemudharatan daripada mengambil manfaat.
Temuan DNA, temuan atom dan temuan penisilin sebagai temuan basic research memang sangat hebat. Pengembangan DNA untuk teknologi genetik memiliki prosfek yang sangat bagus, sekaligus membuka masalah dalam penggunaannya dan juga aksesnya. Begitupun dengan temuan atom dan penisilin akan membawa dampak baik dan juga buruk bagi para penggunanya. Contoh ditemukannya unsur radioaktif uranium disatu sisi membuka peluang yang sangat luar biasa bagi pengembangan energi alternatif dunia lewat pemanfaatan teknologi nuklir yang memakai bahan dasar uranium, namun disis lain membuka peluang yang sangat luar biasa bahayanya jika ini digunakan untuk pembuatan senjata nuklir (seperti yang diungkapkan oleh Mordecai Vanunu tentang pengembangan senjata pemusnah masal di gurun Nevada Amerika).
Pengembangan dunia industri tidak kalah pesatnya, satu sisi membawa dampak positif bagi kesejahteraan umat, namun disisi lain hal ini menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dimana-mana. Kecenderungan pencemaran akhir-akhir ini mengacu pada dua hal, pertama adanya pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang semakin meningkat seperti yang dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kedua, meningkatnya penggunaan bahan-bahan beracun berbahaya (B3) dalam proses industri yang semakin mencemari lingkungan. Dari sebab itulah, timbul masalah yang semakin meluas, antara lain pemanasan global, hujan asam (acid rain), menipisnya lapisan ozon, pencemaran bahan radioaktif, dan lain-lain. Dalam menangani kasus tersebut, uji terhadap kelayakan dan batas ambang bahan-bahan yang digunakan menjadi lebih diperketat. Masalah berikutnya adalah bagaimana tanggungjawab etika terhadap serangkaian uji tersebut?
Adapun dampak sosial pengembangan teknologi setidaknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individual dan dampak pada kualitas hidup sosial secara menyeluruh. Sebagai contoh ditemukannya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup memberi dampak pada manusia. Disatu siis memang dapat meningkatkan kualitas genetika manusia, namun jika salah dalam menanganinya akan menghancurkan martabat manusia sebagai makhluk rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah.
Lalu bagaimana caranya menjadi sosok ilmuwan muslim ideal?
Standarisasi konsep manusia muslim adalah nilai Islam sedangkan aku sebagai ilmuwan dan aku sebagai insan sosial adalah variabel yang harus dijadikan standar dalam membimbing diri. Aku sebagai ilmuwan merupakan pemahaman diri yang efeknya memberikan ketenangan karena memahami siapa diri sebagai pribadi. Aku ilmuwan sebagai insan sosial memberikan rasa penerimaan, apakah aktivitasku (baik dalam riset maupun pengembangan ilmu sebagai basic research) dapat diterima dalam kehidupan sosial atau tidak. Aku ilmuwan sebagai sosok ideal adalah bagaimana aku dengan ilmuku menjadi benar. Konsep semacam ini harus dipahami oleh para ilmuwan. Dengan memahami konsep diri yang jelas akan mengetahui secara fokus apa yang akan dikontribusikan. Dengan konsep diri yang jelas akan mengetahui sejauh mana manusia mempunyai arah. Artinya, ada kesesuaian antara ilmuwan sebagi individu, sebagai insan sosial dan sebagai sosok yang penuh inovasi dan idealisme agar setiap ilmuwan muslim mempunyai tujuan dan arah dalam mengembangkan inovasinya.
Orientasi pembentukan manusai muslim secara umum adalah menciptakan manusia yang memiliki imunitas terhadap lingkungan yang tidak islami, daya tangkal terhadap pengaruh negatif atau daya seleksi terhadap pengaruh positif. Ada dua jenis imunitas yang harus dimiliki, yakni imunitas ideologi dimana seseorang tidak terpengaruh gagasan berbahaya yang dapat menghancurkan kehidupan umat manusia dan gagasan tersebut sedang menjadi main stream wacana pemikikiran, contoh liberalisasi dan sekulerisasi ilmu dan agama. Kedua imunitas mental, yakni kepekaan seseorang terhadap kemunkaran yang terjadi di sekelilingnya. Semangat ubudiyah dan spiritualnya tidak terdegradasi oleh pengaruh gemerlapnya kehidupan duniawi.
Untuk menjaga imunitas tersebut, setiap manusia muslim diharuskan untuk senantiasa menutupi kelemahan-kelemahan dengan ilmu yang luas serta ibadah yang banyak dan khusyuk. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan sebuah proses pembinaan (kaderisasi). Proses kaderisasi ini merupakan proses yang sangat strategis karena sebagai salah satu faktor penentu hidup matinya suatu masyarakat, organisasi ataupun peradaban. Hasan Al-Banna mengatakan:
Kader adalah rahasia kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebangkitan mereka. Sejarah bnagsa-bangsa seluruhnya tidak lain adalah sejarah para kader yang berjiwa besar dan berkemauan kuat. Kuat dan lemahnya suatu bangsa diukur dengan tingkat kesuburannya dalam melahirkan para kader yang memenuhi syarat kaderisasi yang benar itu. Saya yakin- dan sejarah telah membuktikan- bahwa seorang kader saja dapat membangun bangsa jika kaderisasinya menuju arah yang benar. Ia juga mampu menghancurkan bangsa itu jika kaderisasinya diarahkan ke tujuan destruktif, bukan konstruktif.
Menurut Anis Matta, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaderisasi merupakan proses pembinaan atau rekayasa sosial (social engineering) atau suatu proses rekonstruksi untuk membangun inti dari peradaban umat. Maka dapat dikatakan bahwa tahapan pertama yang harus dilakuakn untuk membentuk ilmuwan muslim ideal adalah melalui pembinaan. Proses pembinaan ini akan mengarahkan individu pada pembentukan imunitas ideologi dan mental, serta mampu menyelesaikan problematika umat sesuai wilayah spesialisasinya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Rad: 11)
Ilmuwan muslim merupakan aset yang sangat berharga bagi umat dan ini adalah hal yang harus dipikirkan secara serius bagi keberlangsungan peradaban umat. Hasil dari suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh siapa pelakunya. Identitas diri sebagai muslim bukan hanya sekedar identitas simbol atau label semua umat yang mengaku Islam, tapi dia harus terinternalisasi dalam ruang-ruang kepribadian yang tercermin dalam value and action-nya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika perbaikan diri ilmuwan muslim secara personal dilakuakn secara berkelanjutan dan berkesinambungan, niscaya perbaikan dan pengembangan khasanah ilmu dan teknologi akan segera terwujud. Dengan kata lain lewat sosok ini telah mulai dibangun kembali peradaban untuk menciptakan peradaban baru bagi kebangkitan umat Islam. Harus diingat bahwa setiap disiplin ilmu akan memiliki norma-norma (etika) tertentu yang harus diterima begitu saja tanpa verifikasi lebih lanjut. Paradigma ini memetakan arah semua penyelidikan ilmiah yang terkait. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah proses penanaman etika (akhlak) khusus untuk para ilmuwan. Sehingga hipotesis, penelitian dan produk sebagai kesimpulan yang dihasilkan sebagai hasil telaah ataupun riset sesuai dengan hukum alam dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
0 komentar:
Posting Komentar