Refund yang No Fund
Sabtu, Maret 28, 2009 Edit This 0 Comments »
by : Muthmainnah
Mata itu berbinar-binar. “Jam tujuh, Jeng!”
Ajeng tak bergerak dari telungkupnya. Matanya setia mengikuti huruf demi huruf jurnal komunikasi di depannya. Dua hari lagi dia harus mengirimkan bab tiga ke supervisor.
Karin menyodok Ajeng. “Denger nggak?”
Ugh. Dari kemarin omongan Karin nggak lepas dari sale! Sale Topshop, Fcuk, Zara. Sekarang Next. Esok Next mulai sale. Dia naksir blazer hitam Next.
Bukannya Ajeng nggak naksir!
“Iya.” Ajeng menjawab datar.
Karin tertawa bahagia. “Sale winter lalu aku nggak bisa belanja, Jeng. Soalnya uang kepake tur Eropa. Aku tadi cek account. Kiriman dari Bapak sudah masuk.” Dia tidak punya fasilitas overdraft.
Mulut Ajeng mengerucut. “Bukannya kamu masih ngutang sama Mbak Ira?” Mereka berdua membayar sewa rumah pada Mbak Ira, karena rumah disewa atas nama Mbak Ira. Tiap bulan mereka berbagi bill. Mbak Ira membayar paling banyak, karena kamarnya paling besar. Lalu Karin. Sedang Ajeng menempati kamar singel yang terkecil. Cuman muat kasur, lemari dan meja kecil. Ada sisa ruang sedikit untuk sholat.
Karin belum bayar kopi Costa pada Ajeng. Pekan lalu juga utang ongkos ke car boot sale Whitley Bay. Memang nggak banyak sih. Enam pound. Cuma, segitu bisa makan tiga hari. Ajeng menggerutu dalam hati.
Karin seperti tak mendengar.
“Sewa rumah bulan lalu?”
Karin seperti tersengat. “Aku akan bayar.” Dia menggerutu panjang pendek. Sale nggak ada tiap hari, begitu isi gerutunya .
Ajeng menutup dua telinga. Dia perlu kosentrasi.
Karin begitu itu. Anak orang kaya. Hobinya jalan-jalan dan belanja. Liburan akhir tahun main ski ke Austria. Punya mobil dan HP. Tapi sering ngutang. Sedihnya utangnya dilupakan.
Ajeng sering apes. Kalo jalan sama Karin, misal minum kopi, Karin minta dibayarin dulu. Alasannya belum ambil uang ke ATM. Minum kopi ya paling sepound lebih dikit. Cuma, bisa dipastikan Karin lupa sama utangnya. Pernah Ajeng mencatat, sebulan utang-utang kecil Karin sampai pada jumlah 23 pound! Mulai dari beli minum, ongkos, bayar kartu fotokopi, sampai... beli pembalut.
Ubun-ubun Ajeng rasanya sudah berasap. Uang segitu buat Emak di rumah bisa buat belanja dua pekan! Bukan apa-apa. Ajeng kan miskin. Ke sini juga disekolahkan orang. Nggak seperti Karin. Bapaknya kayak yang punya bank saja. Kapan saja, berapa saja Karin minta, selalu ada. Mbak Ira juga bukan orang kaya. Supaya bisa meneruskan sekolahnya, dia kerja serabutan ke mana-mana.
“Blazernya buat Agustusan. Mas Agung pasti datang. Dia panitia.”
Ajeng membuka tangan di telinganya, melongo. Dia lupa dengan jurnalnya.
“Mas Agung?” Dia tak percaya.
“Agung Haryanto.” Wajah itu melamun.
Ajeng memukul Karin dengan jurnalnya. “Bangun ooi!”
Karin kembali ke bumi, manyun. “Napa?”
“Mas Agung udah tua, Karin!”
“Paling baru 26, beda 7 tahun saja.”
Ajeng menatap temannya takjub. “Orang kayak dia biasanya udah nikah lagi umur segitu!” Jenggotan, baju koko.
“Nggak ada istrinya.”
“Kali ditinggal.”
“Kalo nggak ada di sini, lebih mudah kan.”
“Ampuun deh. Waras dikit napa sih Karin!” Semprot Ajeng. Ajeng mengemasi bukunya. Kekesalannya bertambah-tambah. Selain hobi belanja, dia juga senang melakukan pendekatan pada makhluk-makhluk.
Karin sebenarnya manis, asal dia mengurangi make upnya. Dia cukup menarik kalau pakai bajunya proper. Pernah, pergi mengunjungi kapal Dewaruci--bertambat di Quayside dalam lomba tallship--dia datang dengan baju skimpi, celana jins yang robeknya sampai pangkal paha dan melorot rendah sekali. Asli, Ajeng nggak mau dekat-dekat dengan Karin. Dia tidak mau melihat bagaimana teman serumahnya dinikmati pelaut yang sudah lama tidak lihat perempuan itu.Eh, ndilalah. Dengan bahagianya Karin cerita dia diajak ngobrol banyak awak kapal.
Asli, Ajeng geleng-geleng. Ada ya makhluk seajaib Karin?
Lha, mau mendekati Mas Agung? Yang ustadz itu?
***
Pagi Agustus yang segar dan ramah. Cericit burung saling meningkahi. Di Jakarta, Ajeng tak pernah mendengar suara burung pagi-pagi. Dulu, ketika baru sampai di sini, bangun pagi hari, Ajeng takjub mendengar kicauan burung. Di sini memang begitu. Penduduk banyak menyediakan makanan burung di halamannya. Di danau buatan, roti bertaburan seperti pasir di pantai. Merpati dan bebek di Leazes Park sampai tak bisa menghabiskan ‘sumbangan’ makanan itu. Mereka makmur dan gendut. Menembak burung liar bisa kena penjara. Makanya burung di sini berkembang biak. Ajeng sempat berfantasi menangkap bebek di sana dan memasak bebek hijau a la Tante Ayu dari Padang. Fantasi saja. Ajeng masih takut polisi.
“Jeng, sudah siap belum?” Suara melengking Karin. Ia minta ditemani belanja.
Agak malas Ajeng keluar kamar.
“Ayo!” Karin tidak sabar, menuruni tangga.
“Biasanya jam segini, kamu masih ngorok,” Ajeng misuh-misuh.
Karin pura-pura tidak mendengar. Dia menyambar jilbab dari gantungan baju dan melemparkan kepada Ajeng. “Aku tunggu di mobil.” Lalu dia melesat keluar.
Nona ini kalau ada maunya... Padahal pakai mobil dia ke city centre nggak sampai enam menit.
“Aku naksir blazer hitamnya, Jeng. Kemarin, sebelum sale masih 100 pound. Katanya, hari ini bisa jadi 60 persen. Bisa dapat 40 pound. Di Jakarta nggak dapat segitu. Boro-boro. Sepotong Next bisa dua juta. Ada sepatu yang cantik temannya. Aku lihat masih ada ukuranku. Mungkin bisa dapet 15 pound.”
Sepatu Ajeng dibawa dari Indonesia.
“Uang segitu bisa bayar kamar lhoo.”
Bibir itu manyun.
“Aku akan bayar. Denger nggak sih?”
“Habis, masih ada utang, udah maruk mau belanja. Kasihan Mbak Ira. Kerja banting tulang gitu.”
“Aku kan bilang,” seru Karin melengking. “Aku akan bayar. Aku cuma mau pake bajunya untuk tujuh belasan. Trus direfund.”
W H A T?!
Ajeng menatap temannya horor.
“Maksudmu?”
“Aku beli dulu, trus dibalikin. Uangnya kan dapat lagi.”
“Setelah bajunya kamu pake?”
Karin nampak gelisah. “Ya.” Suaranya kecil.
N O!
“Rugi amat yang beli baju setelah kamu pake.” Ajeng ketus.
“Why?” Suara itu penuh ancaman.
“Bau!”
Karin mengumpat. “Aku nggak pernah bau lagi! Kamu tuh.”
Hening.
“Kan boleh gitu, Jeng. Kalo nggak puas, nggak suka barangnya, ada masa 14 hari untuk refund. Banyak yang kayak gitu.”
“Baju?”
“Ya, macam-macam. Kemarin Mas Han beli digital cam untuk graduationnya. Pas udah dipake, kameranya dibalikin. Uangnya dapat lagi. Daripada nyewa kamera.”
Ajeng berdiam diri. Dia tetap merasa apa yang akan dilakukan Karin salah.
“Tahu nggak? Next juga jualan scarf lho. Beli deh. Aku mau nyari yang pake nama Nextnya. Aku mau pakai jilbab esok...”
Ajeng memutar bola matanya.
Sejak kapan si seksi ini kepikiran pake jilbab?
“Mas Agung,” Karin terkikik.
Ajeng tersegat lebah. “Napa?”
“Pasti nggak pernah liat anak jilbab modis.”
Hidup di jaman kapan sih kamu, Karin? “Di Indonesia dah banyak lagi anak jilbab gaya kamu,” tukas Ajeng datar.
“Eh?” Wajah itu tidak percaya.
“Sudah banyak yang jilbabnya mini, nampak udel. Banyak juga yang jilbab cekek, nampak big boobs. Jadi, kayak kamu mah dah pasaran,” dengus Ajeng.
“Kan nggak ada yang secantik aku.” Suara itu bahagia.
Ajeng mau muntah. “Cantik tapi...”
“Sirik tanda tak mampu.”
Hoek.
Karin parkir di dalam kampus. Tak menunggu langkah kecil Ajeng, Karin setengah berlari menyeberang. Ajeng sengaja memperlambat langkahnya.
“Jeeeng, aku tunggu di depan pintu ya?” pekik Karin.
Ajeng meleletkan lidah.
Pagi Sabtu, jalanan sepi. Kampus pun hampir kosong. Gedung pustaka Robinson menjulang dari jauh, seakan mempunyai magnet yang amat kuat. Di saku jaket Ajeng ada kartu mahasiswa. Walau kampus sedang libur, Ajeng bisa membuka gedung dengan kartunya.
Pergi? Tidak?
Wajah murka Karin membayang.
Menghela napas, Ajeng menekan tombol lampu penyeberang di depan St. Mary.
Wuih. Di depan Next antrian sudah mengular... sampai ke Superdrug. Ada ibu-ibu dengan pushchair juga. Semangat amat sih.
“Hallo, Ajeng. Ngesale juga nih,” Beberapa ibu-ibu Indonesia, bergerombol di barisan agak ke depan.
Ajeng meringis. “Nunggu sejak jam berapa, Bu?”
“Hampir jam lima. Tapi, kan kita hampir paling depan.” Mereka tertawa riang.
Ajeng tertawa terpaksa. Dia lalu pamit, menuju ujung antrian.
Jalan Northumberland mulai hidup. Karin thumps up melihat Ajeng. Mereka terpisah lima orang.
“Assalamu’alaikum. Ajeng? Karin? Apa kabar?”
Satu suara membuat Ajeng melongokkan kepala. Mbak Onny. Yang membina pengajian putri Newcastle. Muka Ajeng memanas. Dia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang kurang pantas. Ajeng keluar dari antrian dan menyalami Mbak Onny.
“Pulang kerja Mbak?”
Mbak Onny cleaner. Suaminya Ph.D. Belum selesai, beasiswa sudah habis. Mbak Onny yang juga dosen di Jogja mencari penghasilan dengan menjadi petugas kebersihan.
“Baru akan berangkat. Besok datang?”
Kerongkongan Ajeng kering. Dia mengangguk lemah.
Mbak Onny tersenyum tipis. “Jangan lupa sisihkan uang untuk Pangandaran, Jogja dan yang lain ya?” Mata itu begitu damai.
Ajeng tunduk. Coba tadi ke kampus saja.
“Sendirinya belum tentu ngirim ke Pangandaran,” Karin menyong, menatap punggung Mbak Onny yang hampir hilang.
“Sok tau lu.” Kepala Ajeng memanas.
Untungnya pintu Next dibuka. Seperti ombak, manusia berduyun masuk ke toko. Karin mendesak maju. Ajeng membiarkan yang lain mendahului. Minatnya untuk lihat-lihat lenyap.Karin seperti orang demam. Pontang-panting meraup blazer yang dia idam-idamkan; sepatu, scarf. Dua-dua tangannya penuh dengan baju, rok dan lain-lain. Ajeng berdiri di tepi. Toko itu terlalu penuh untuk bisa jalan dengan tenang. Baju dan rok Ajeng masih banyak yang bagus.
***
Kalau kemarin, Karin yang menunggu Ajeng di depan pintu, kali ini giliran Ajeng.
“Lama amat sih dandannya?”
Mbak Ira tidak di rumah. Menginap di rumah temannya.
Ketika pintu itu terbuka pelan-pelan, Ajeng menahan tawa kuat-kuat. Menor beh. Jilbab cekek. Aduh, nggak Karin amat deh.
“Aku belum selesai.” Karin mengacungkan tangannya. Kuku palsu!
Karena takut pertahanan dirinya jebol—ngakak nggak habis-habisan—Ajeng mendahului Karin menuju Leazes Park.
Anak ajaib. Karin pernah mikir nggak sih nyambung di mana jilbab sama kuku palsu? Ajeng geleng-geleng kepala. Tapi, ya, masih mending berteman sama Karin. Undergrad yang lain pada hobi clubbing, atau kasinoing. Betul itu. Teman-teman, kalau week end, sering janjian di Monument, terus jalan ke club. Atau mereka suka ngumpul di kasino. Alasan anak gadis muslim yang lain, mereka sekadar duduk di lounge. Ada sandwich gratis.
“Kan nggak betting. Lumayan, free dinner.”
Ajeng nggak deh.
Walau Karin hobi berpakaian seksi, sejauh ini, dia nggak freely touchy, gitu loh. Exsesively flirty, iya. Anaknya kadang nyebelin. Tapi, dalamnya dia baik.
Setiap memasuki pagar Leazes, selalu Ajeng ingat Bang Rul. Bang Rul gila bola. Bulan pertama di sini, melulu pertanyaan Abang tentang Owen. Pohon kiri kanan yang merundukkan rimbunnya ke jalan, hmm, Ajeng suuuka. Sebentar lagi, Autumn. Daun-daunnya akan berguguran dan menghiasi jalan. Menguning seperti emas. Pohon tinggal ranting dan dahan saja. Dulu, waktu baca prospek Newcastle Uni, Ajeng jatuh cinta dengan danau ini. Baguuus sekali. Pulau kecil yang romantis. Kebayang nggak sih, kemping di pulau kecil, sendiri saja? Di sekitar angsa dan bebek liar? Menghidupkan api unggun? Yummy.
Eh, pas melihat betulan. Asli, Ajeng terperangah. Ini mah kolam ikan! Bukan ‘lake’. Ketipu, sodara-sodara! Tapi, tetap cakep. Kolam ikan yang terawat dan bersih. Apalagi di kanannya, playground anak-anak baru saja dibangun. Lengkap dengan lantai warna warninya.
Di kiri danau, hampir ke dekat St James Park, komunitas Indonesia mendirikan tenda makanan. Ibu-ibu berkumpul di tenda. Sebagian sibuk mengatur makanan, sebagian ngerumpi sambil icip-icip. Anak-anak berlarian. Warna kulit mereka beragam. Dari yang putih bule, putih Cina, sampai hitam Afrika. Teriakan mereka medok Geordie.
“Let’s go to the wa’er!”
“It’s not fun!” Fun dibaca dekat ke bunyi u, daripada a.
Bapak mereka, ada yang bule, ada yang Afrika, bergerombol di satu sudut. Bapak-bapak PhD kumpulnya di sudut lain. Diskusinya melulu tentang perkembangan tesis. Anak muda-muda punya kesibukan lain. Ada yang menyiapkan tonggak untuk mengibarkan bendera. Ada yang menyiapkan perangkat games dadakan. Ada yang bungkus-bungkus kado hadiah. Ajeng pilih gabung ke sini. Menggunting kertas kado, menempelkannya ke kotak hadiah. Panitia menyiapkan puluhan hadiah. Sebagian untuk anak-anak seperti spidol, magic board.
“Aku juga mau deh dapet hadiah ginian?” Ajeng membolak-balik kotak girl’s kit.
“Masa kecil kurang bahagia lu,” Naning temannya membungkus kado berkomentar dengan cuek.
Ajeng cengar-cengir.
Waktu kecil—sekarang juga sih—mana ada dalam kamus keluarga Ajeng dibelikan mainan. Kalau mau punya mainan, ya dibuat sendiri. Boneka dijahit Emak. Pistol-pistolan dibuat dari pohon bambu.
“Eh, udah dipanggil upacara,” Naning menyenggol Ajeng. Di sekitar mereka bertumpuk kotak kado.
Ajeng buru-buru menggunting selotip. Merapihkan lipat kertas kado dan sigap menempelkan selotip.Yup. Sudah. Lagu Indonesia Raya sudah setengah jalan. Pelan Ajeng menggabungkan diri. Di depan komandan upacara, ketua PPI. Ada yang mengibarkan bendera, berdua. Komunitas Indonesia berdiri berjejer. Mungkin seratus lah.
Aneh ya, upacara di negeri orang.
Pembacaan puisi. Puisi ini terjemahan lagu Indonesia Raya. Tujuannya memberikan pemahaman lebih pada adik-adik kecil yang lahir dan besar di sini. Ini tugas Karin.
Karin berjalan dari samping, menuju tengah lapangan. Wajah percaya dirinya penuh senyum. Satu kali matanya mengerling pada Mas Agung. Tapi yang dikerling tidak melepaskan pandang dari bendera merah putih. Percuma Karin!
Karin berbalik.
Alaaaamaaaak.
Ajeng ingin berlari ke depan, menyambar lengan temannya dan mengajaknya minggir.
Pada leher blazer Next hitamnya itu, yang di dalamnya ada jilbab cekek, bergelantungan dengan manis....
Aduh, merek dan harga baju!
Kertas itu menari-nari ditiup angin.
Sebagian menahan tawa. Sebagian pura-pura tak tahu. Sebagian lagi berdiskusi, walau bisik-bisik.
“Wah, lupa memotong mereknya ya.”
“Mau direfund kali.” Cekikikan.
Muka Ajeng memanas. Aduh, cepet dong Karin.
Karin menyelesaikan puisi dan dengan gerakan yang lebih gemulai dari biasa meninggalkan tengah lapangan. Ajeng menyelinap di antara badan-badan, menyelusuri belakang barisan dan menarik Karin. Karin berusaha menepiskan helaan Ajeng. Ajeng mengencangkan tarikannya sampai akhirnya Karin mengalah dan mundur.
“Apaan sih?” Karin tak meleparkan pandangannya dari tempat Mas Agung berdiri.
Ajeng menelan ludah. Hatinya kecut. “Ka... kamu...” Bagaimana Karin yang sangat peduli dengan penampilan menerima berita ini?
“Apa sih?” Karin tidak sabar.
“Lupa...” Ajeng membersihkan kerongkongannya. “Merek baju.”
Muka Karin memucat. Tangannya gemetar merayapi punggungnya, menuju bawah tengkuk. Jarinya menyentuh merek itu. Mulut Karin terbuka dan tertutup tanpa suara. Matanya membelalak. Wajahnya penuh horror. Tanpa suara, dia membalikkan badan, membawa kakinya berlari, menjauh dari kerumunan orang.
Jantung Ajeng jatuh sampai dasar perutnya.
Karin menerima berita ini lebih buruk yang dia duga.
Biasanya, dia punya rasa humor. Setengah berlari Ajeng menyusul Karin. Ajeng belum sempat mencicipi gule Bu Faqih yang terkenal itu!
Yaaaa.
Karin deh.***
Newcastle, 61 tahun kemerdekaan Bumi Pertiwi
Box:
Muthmainnah, alias Maimon Herawati adalah salah satu penulis favorit Annida (1997) dengan serial fenomenal Pingkan, yang telah diterbitkan dan hingga kini masih dicetak ulang. Selain Pingkan, Maimon juga menulis beberapa buku seperti Tembang di Padang, Rahasia Dua Hati dan Muara Kasih. Penulis kelahiran Sijunjung, 15 Mei 1974 ini sekarang tinggal di Newcastle, Inggris, menemani suami studi di sana.
# Naskah ini pernah dimuat di Annida Nomor 01/XVI/September 2006
Mata itu berbinar-binar. “Jam tujuh, Jeng!”
Ajeng tak bergerak dari telungkupnya. Matanya setia mengikuti huruf demi huruf jurnal komunikasi di depannya. Dua hari lagi dia harus mengirimkan bab tiga ke supervisor.
Karin menyodok Ajeng. “Denger nggak?”
Ugh. Dari kemarin omongan Karin nggak lepas dari sale! Sale Topshop, Fcuk, Zara. Sekarang Next. Esok Next mulai sale. Dia naksir blazer hitam Next.
Bukannya Ajeng nggak naksir!
“Iya.” Ajeng menjawab datar.
Karin tertawa bahagia. “Sale winter lalu aku nggak bisa belanja, Jeng. Soalnya uang kepake tur Eropa. Aku tadi cek account. Kiriman dari Bapak sudah masuk.” Dia tidak punya fasilitas overdraft.
Mulut Ajeng mengerucut. “Bukannya kamu masih ngutang sama Mbak Ira?” Mereka berdua membayar sewa rumah pada Mbak Ira, karena rumah disewa atas nama Mbak Ira. Tiap bulan mereka berbagi bill. Mbak Ira membayar paling banyak, karena kamarnya paling besar. Lalu Karin. Sedang Ajeng menempati kamar singel yang terkecil. Cuman muat kasur, lemari dan meja kecil. Ada sisa ruang sedikit untuk sholat.
Karin belum bayar kopi Costa pada Ajeng. Pekan lalu juga utang ongkos ke car boot sale Whitley Bay. Memang nggak banyak sih. Enam pound. Cuma, segitu bisa makan tiga hari. Ajeng menggerutu dalam hati.
Karin seperti tak mendengar.
“Sewa rumah bulan lalu?”
Karin seperti tersengat. “Aku akan bayar.” Dia menggerutu panjang pendek. Sale nggak ada tiap hari, begitu isi gerutunya .
Ajeng menutup dua telinga. Dia perlu kosentrasi.
Karin begitu itu. Anak orang kaya. Hobinya jalan-jalan dan belanja. Liburan akhir tahun main ski ke Austria. Punya mobil dan HP. Tapi sering ngutang. Sedihnya utangnya dilupakan.
Ajeng sering apes. Kalo jalan sama Karin, misal minum kopi, Karin minta dibayarin dulu. Alasannya belum ambil uang ke ATM. Minum kopi ya paling sepound lebih dikit. Cuma, bisa dipastikan Karin lupa sama utangnya. Pernah Ajeng mencatat, sebulan utang-utang kecil Karin sampai pada jumlah 23 pound! Mulai dari beli minum, ongkos, bayar kartu fotokopi, sampai... beli pembalut.
Ubun-ubun Ajeng rasanya sudah berasap. Uang segitu buat Emak di rumah bisa buat belanja dua pekan! Bukan apa-apa. Ajeng kan miskin. Ke sini juga disekolahkan orang. Nggak seperti Karin. Bapaknya kayak yang punya bank saja. Kapan saja, berapa saja Karin minta, selalu ada. Mbak Ira juga bukan orang kaya. Supaya bisa meneruskan sekolahnya, dia kerja serabutan ke mana-mana.
“Blazernya buat Agustusan. Mas Agung pasti datang. Dia panitia.”
Ajeng membuka tangan di telinganya, melongo. Dia lupa dengan jurnalnya.
“Mas Agung?” Dia tak percaya.
“Agung Haryanto.” Wajah itu melamun.
Ajeng memukul Karin dengan jurnalnya. “Bangun ooi!”
Karin kembali ke bumi, manyun. “Napa?”
“Mas Agung udah tua, Karin!”
“Paling baru 26, beda 7 tahun saja.”
Ajeng menatap temannya takjub. “Orang kayak dia biasanya udah nikah lagi umur segitu!” Jenggotan, baju koko.
“Nggak ada istrinya.”
“Kali ditinggal.”
“Kalo nggak ada di sini, lebih mudah kan.”
“Ampuun deh. Waras dikit napa sih Karin!” Semprot Ajeng. Ajeng mengemasi bukunya. Kekesalannya bertambah-tambah. Selain hobi belanja, dia juga senang melakukan pendekatan pada makhluk-makhluk.
Karin sebenarnya manis, asal dia mengurangi make upnya. Dia cukup menarik kalau pakai bajunya proper. Pernah, pergi mengunjungi kapal Dewaruci--bertambat di Quayside dalam lomba tallship--dia datang dengan baju skimpi, celana jins yang robeknya sampai pangkal paha dan melorot rendah sekali. Asli, Ajeng nggak mau dekat-dekat dengan Karin. Dia tidak mau melihat bagaimana teman serumahnya dinikmati pelaut yang sudah lama tidak lihat perempuan itu.Eh, ndilalah. Dengan bahagianya Karin cerita dia diajak ngobrol banyak awak kapal.
Asli, Ajeng geleng-geleng. Ada ya makhluk seajaib Karin?
Lha, mau mendekati Mas Agung? Yang ustadz itu?
***
Pagi Agustus yang segar dan ramah. Cericit burung saling meningkahi. Di Jakarta, Ajeng tak pernah mendengar suara burung pagi-pagi. Dulu, ketika baru sampai di sini, bangun pagi hari, Ajeng takjub mendengar kicauan burung. Di sini memang begitu. Penduduk banyak menyediakan makanan burung di halamannya. Di danau buatan, roti bertaburan seperti pasir di pantai. Merpati dan bebek di Leazes Park sampai tak bisa menghabiskan ‘sumbangan’ makanan itu. Mereka makmur dan gendut. Menembak burung liar bisa kena penjara. Makanya burung di sini berkembang biak. Ajeng sempat berfantasi menangkap bebek di sana dan memasak bebek hijau a la Tante Ayu dari Padang. Fantasi saja. Ajeng masih takut polisi.
“Jeng, sudah siap belum?” Suara melengking Karin. Ia minta ditemani belanja.
Agak malas Ajeng keluar kamar.
“Ayo!” Karin tidak sabar, menuruni tangga.
“Biasanya jam segini, kamu masih ngorok,” Ajeng misuh-misuh.
Karin pura-pura tidak mendengar. Dia menyambar jilbab dari gantungan baju dan melemparkan kepada Ajeng. “Aku tunggu di mobil.” Lalu dia melesat keluar.
Nona ini kalau ada maunya... Padahal pakai mobil dia ke city centre nggak sampai enam menit.
“Aku naksir blazer hitamnya, Jeng. Kemarin, sebelum sale masih 100 pound. Katanya, hari ini bisa jadi 60 persen. Bisa dapat 40 pound. Di Jakarta nggak dapat segitu. Boro-boro. Sepotong Next bisa dua juta. Ada sepatu yang cantik temannya. Aku lihat masih ada ukuranku. Mungkin bisa dapet 15 pound.”
Sepatu Ajeng dibawa dari Indonesia.
“Uang segitu bisa bayar kamar lhoo.”
Bibir itu manyun.
“Aku akan bayar. Denger nggak sih?”
“Habis, masih ada utang, udah maruk mau belanja. Kasihan Mbak Ira. Kerja banting tulang gitu.”
“Aku kan bilang,” seru Karin melengking. “Aku akan bayar. Aku cuma mau pake bajunya untuk tujuh belasan. Trus direfund.”
W H A T?!
Ajeng menatap temannya horor.
“Maksudmu?”
“Aku beli dulu, trus dibalikin. Uangnya kan dapat lagi.”
“Setelah bajunya kamu pake?”
Karin nampak gelisah. “Ya.” Suaranya kecil.
N O!
“Rugi amat yang beli baju setelah kamu pake.” Ajeng ketus.
“Why?” Suara itu penuh ancaman.
“Bau!”
Karin mengumpat. “Aku nggak pernah bau lagi! Kamu tuh.”
Hening.
“Kan boleh gitu, Jeng. Kalo nggak puas, nggak suka barangnya, ada masa 14 hari untuk refund. Banyak yang kayak gitu.”
“Baju?”
“Ya, macam-macam. Kemarin Mas Han beli digital cam untuk graduationnya. Pas udah dipake, kameranya dibalikin. Uangnya dapat lagi. Daripada nyewa kamera.”
Ajeng berdiam diri. Dia tetap merasa apa yang akan dilakukan Karin salah.
“Tahu nggak? Next juga jualan scarf lho. Beli deh. Aku mau nyari yang pake nama Nextnya. Aku mau pakai jilbab esok...”
Ajeng memutar bola matanya.
Sejak kapan si seksi ini kepikiran pake jilbab?
“Mas Agung,” Karin terkikik.
Ajeng tersegat lebah. “Napa?”
“Pasti nggak pernah liat anak jilbab modis.”
Hidup di jaman kapan sih kamu, Karin? “Di Indonesia dah banyak lagi anak jilbab gaya kamu,” tukas Ajeng datar.
“Eh?” Wajah itu tidak percaya.
“Sudah banyak yang jilbabnya mini, nampak udel. Banyak juga yang jilbab cekek, nampak big boobs. Jadi, kayak kamu mah dah pasaran,” dengus Ajeng.
“Kan nggak ada yang secantik aku.” Suara itu bahagia.
Ajeng mau muntah. “Cantik tapi...”
“Sirik tanda tak mampu.”
Hoek.
Karin parkir di dalam kampus. Tak menunggu langkah kecil Ajeng, Karin setengah berlari menyeberang. Ajeng sengaja memperlambat langkahnya.
“Jeeeng, aku tunggu di depan pintu ya?” pekik Karin.
Ajeng meleletkan lidah.
Pagi Sabtu, jalanan sepi. Kampus pun hampir kosong. Gedung pustaka Robinson menjulang dari jauh, seakan mempunyai magnet yang amat kuat. Di saku jaket Ajeng ada kartu mahasiswa. Walau kampus sedang libur, Ajeng bisa membuka gedung dengan kartunya.
Pergi? Tidak?
Wajah murka Karin membayang.
Menghela napas, Ajeng menekan tombol lampu penyeberang di depan St. Mary.
Wuih. Di depan Next antrian sudah mengular... sampai ke Superdrug. Ada ibu-ibu dengan pushchair juga. Semangat amat sih.
“Hallo, Ajeng. Ngesale juga nih,” Beberapa ibu-ibu Indonesia, bergerombol di barisan agak ke depan.
Ajeng meringis. “Nunggu sejak jam berapa, Bu?”
“Hampir jam lima. Tapi, kan kita hampir paling depan.” Mereka tertawa riang.
Ajeng tertawa terpaksa. Dia lalu pamit, menuju ujung antrian.
Jalan Northumberland mulai hidup. Karin thumps up melihat Ajeng. Mereka terpisah lima orang.
“Assalamu’alaikum. Ajeng? Karin? Apa kabar?”
Satu suara membuat Ajeng melongokkan kepala. Mbak Onny. Yang membina pengajian putri Newcastle. Muka Ajeng memanas. Dia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang kurang pantas. Ajeng keluar dari antrian dan menyalami Mbak Onny.
“Pulang kerja Mbak?”
Mbak Onny cleaner. Suaminya Ph.D. Belum selesai, beasiswa sudah habis. Mbak Onny yang juga dosen di Jogja mencari penghasilan dengan menjadi petugas kebersihan.
“Baru akan berangkat. Besok datang?”
Kerongkongan Ajeng kering. Dia mengangguk lemah.
Mbak Onny tersenyum tipis. “Jangan lupa sisihkan uang untuk Pangandaran, Jogja dan yang lain ya?” Mata itu begitu damai.
Ajeng tunduk. Coba tadi ke kampus saja.
“Sendirinya belum tentu ngirim ke Pangandaran,” Karin menyong, menatap punggung Mbak Onny yang hampir hilang.
“Sok tau lu.” Kepala Ajeng memanas.
Untungnya pintu Next dibuka. Seperti ombak, manusia berduyun masuk ke toko. Karin mendesak maju. Ajeng membiarkan yang lain mendahului. Minatnya untuk lihat-lihat lenyap.Karin seperti orang demam. Pontang-panting meraup blazer yang dia idam-idamkan; sepatu, scarf. Dua-dua tangannya penuh dengan baju, rok dan lain-lain. Ajeng berdiri di tepi. Toko itu terlalu penuh untuk bisa jalan dengan tenang. Baju dan rok Ajeng masih banyak yang bagus.
***
Kalau kemarin, Karin yang menunggu Ajeng di depan pintu, kali ini giliran Ajeng.
“Lama amat sih dandannya?”
Mbak Ira tidak di rumah. Menginap di rumah temannya.
Ketika pintu itu terbuka pelan-pelan, Ajeng menahan tawa kuat-kuat. Menor beh. Jilbab cekek. Aduh, nggak Karin amat deh.
“Aku belum selesai.” Karin mengacungkan tangannya. Kuku palsu!
Karena takut pertahanan dirinya jebol—ngakak nggak habis-habisan—Ajeng mendahului Karin menuju Leazes Park.
Anak ajaib. Karin pernah mikir nggak sih nyambung di mana jilbab sama kuku palsu? Ajeng geleng-geleng kepala. Tapi, ya, masih mending berteman sama Karin. Undergrad yang lain pada hobi clubbing, atau kasinoing. Betul itu. Teman-teman, kalau week end, sering janjian di Monument, terus jalan ke club. Atau mereka suka ngumpul di kasino. Alasan anak gadis muslim yang lain, mereka sekadar duduk di lounge. Ada sandwich gratis.
“Kan nggak betting. Lumayan, free dinner.”
Ajeng nggak deh.
Walau Karin hobi berpakaian seksi, sejauh ini, dia nggak freely touchy, gitu loh. Exsesively flirty, iya. Anaknya kadang nyebelin. Tapi, dalamnya dia baik.
Setiap memasuki pagar Leazes, selalu Ajeng ingat Bang Rul. Bang Rul gila bola. Bulan pertama di sini, melulu pertanyaan Abang tentang Owen. Pohon kiri kanan yang merundukkan rimbunnya ke jalan, hmm, Ajeng suuuka. Sebentar lagi, Autumn. Daun-daunnya akan berguguran dan menghiasi jalan. Menguning seperti emas. Pohon tinggal ranting dan dahan saja. Dulu, waktu baca prospek Newcastle Uni, Ajeng jatuh cinta dengan danau ini. Baguuus sekali. Pulau kecil yang romantis. Kebayang nggak sih, kemping di pulau kecil, sendiri saja? Di sekitar angsa dan bebek liar? Menghidupkan api unggun? Yummy.
Eh, pas melihat betulan. Asli, Ajeng terperangah. Ini mah kolam ikan! Bukan ‘lake’. Ketipu, sodara-sodara! Tapi, tetap cakep. Kolam ikan yang terawat dan bersih. Apalagi di kanannya, playground anak-anak baru saja dibangun. Lengkap dengan lantai warna warninya.
Di kiri danau, hampir ke dekat St James Park, komunitas Indonesia mendirikan tenda makanan. Ibu-ibu berkumpul di tenda. Sebagian sibuk mengatur makanan, sebagian ngerumpi sambil icip-icip. Anak-anak berlarian. Warna kulit mereka beragam. Dari yang putih bule, putih Cina, sampai hitam Afrika. Teriakan mereka medok Geordie.
“Let’s go to the wa’er!”
“It’s not fun!” Fun dibaca dekat ke bunyi u, daripada a.
Bapak mereka, ada yang bule, ada yang Afrika, bergerombol di satu sudut. Bapak-bapak PhD kumpulnya di sudut lain. Diskusinya melulu tentang perkembangan tesis. Anak muda-muda punya kesibukan lain. Ada yang menyiapkan tonggak untuk mengibarkan bendera. Ada yang menyiapkan perangkat games dadakan. Ada yang bungkus-bungkus kado hadiah. Ajeng pilih gabung ke sini. Menggunting kertas kado, menempelkannya ke kotak hadiah. Panitia menyiapkan puluhan hadiah. Sebagian untuk anak-anak seperti spidol, magic board.
“Aku juga mau deh dapet hadiah ginian?” Ajeng membolak-balik kotak girl’s kit.
“Masa kecil kurang bahagia lu,” Naning temannya membungkus kado berkomentar dengan cuek.
Ajeng cengar-cengir.
Waktu kecil—sekarang juga sih—mana ada dalam kamus keluarga Ajeng dibelikan mainan. Kalau mau punya mainan, ya dibuat sendiri. Boneka dijahit Emak. Pistol-pistolan dibuat dari pohon bambu.
“Eh, udah dipanggil upacara,” Naning menyenggol Ajeng. Di sekitar mereka bertumpuk kotak kado.
Ajeng buru-buru menggunting selotip. Merapihkan lipat kertas kado dan sigap menempelkan selotip.Yup. Sudah. Lagu Indonesia Raya sudah setengah jalan. Pelan Ajeng menggabungkan diri. Di depan komandan upacara, ketua PPI. Ada yang mengibarkan bendera, berdua. Komunitas Indonesia berdiri berjejer. Mungkin seratus lah.
Aneh ya, upacara di negeri orang.
Pembacaan puisi. Puisi ini terjemahan lagu Indonesia Raya. Tujuannya memberikan pemahaman lebih pada adik-adik kecil yang lahir dan besar di sini. Ini tugas Karin.
Karin berjalan dari samping, menuju tengah lapangan. Wajah percaya dirinya penuh senyum. Satu kali matanya mengerling pada Mas Agung. Tapi yang dikerling tidak melepaskan pandang dari bendera merah putih. Percuma Karin!
Karin berbalik.
Alaaaamaaaak.
Ajeng ingin berlari ke depan, menyambar lengan temannya dan mengajaknya minggir.
Pada leher blazer Next hitamnya itu, yang di dalamnya ada jilbab cekek, bergelantungan dengan manis....
Aduh, merek dan harga baju!
Kertas itu menari-nari ditiup angin.
Sebagian menahan tawa. Sebagian pura-pura tak tahu. Sebagian lagi berdiskusi, walau bisik-bisik.
“Wah, lupa memotong mereknya ya.”
“Mau direfund kali.” Cekikikan.
Muka Ajeng memanas. Aduh, cepet dong Karin.
Karin menyelesaikan puisi dan dengan gerakan yang lebih gemulai dari biasa meninggalkan tengah lapangan. Ajeng menyelinap di antara badan-badan, menyelusuri belakang barisan dan menarik Karin. Karin berusaha menepiskan helaan Ajeng. Ajeng mengencangkan tarikannya sampai akhirnya Karin mengalah dan mundur.
“Apaan sih?” Karin tak meleparkan pandangannya dari tempat Mas Agung berdiri.
Ajeng menelan ludah. Hatinya kecut. “Ka... kamu...” Bagaimana Karin yang sangat peduli dengan penampilan menerima berita ini?
“Apa sih?” Karin tidak sabar.
“Lupa...” Ajeng membersihkan kerongkongannya. “Merek baju.”
Muka Karin memucat. Tangannya gemetar merayapi punggungnya, menuju bawah tengkuk. Jarinya menyentuh merek itu. Mulut Karin terbuka dan tertutup tanpa suara. Matanya membelalak. Wajahnya penuh horror. Tanpa suara, dia membalikkan badan, membawa kakinya berlari, menjauh dari kerumunan orang.
Jantung Ajeng jatuh sampai dasar perutnya.
Karin menerima berita ini lebih buruk yang dia duga.
Biasanya, dia punya rasa humor. Setengah berlari Ajeng menyusul Karin. Ajeng belum sempat mencicipi gule Bu Faqih yang terkenal itu!
Yaaaa.
Karin deh.***
Newcastle, 61 tahun kemerdekaan Bumi Pertiwi
Box:
Muthmainnah, alias Maimon Herawati adalah salah satu penulis favorit Annida (1997) dengan serial fenomenal Pingkan, yang telah diterbitkan dan hingga kini masih dicetak ulang. Selain Pingkan, Maimon juga menulis beberapa buku seperti Tembang di Padang, Rahasia Dua Hati dan Muara Kasih. Penulis kelahiran Sijunjung, 15 Mei 1974 ini sekarang tinggal di Newcastle, Inggris, menemani suami studi di sana.
# Naskah ini pernah dimuat di Annida Nomor 01/XVI/September 2006