Cahaya Berpijar di Bumi Banjar

Kamis, April 16, 2009 Edit This 0 Comments »
Dimuat di rubrik "Epik" Annida No 02/XV/ Oktober-November 2005

Lutfi Mufti

Senja di muara Sungai Barito selalu tampak indah. Kenanga tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau itu. Hampir setiap senja, dia datang ke muara Sungai Barito. Terkadang dia berjukung dari Sungai Kuin—tempat rumah palimasan yang dia tinggali sekeluarga berdiri. Namun, sekarang Kenanga hanya duduk di pinggiran tumpakan kecil. Memandang dermaga pelabuhan yang mengikat beberapa kapal. Memandangi aktifitas sepanjang pinggir sungai yang sibuk menyambut datangnya malam dengan membersihkan badan, setelah seharian bergelut dengan peluh dan kotoran.
Beberapa lelaki turun dari geladak kapal menggunakan tangga mendekati permukaan sungai. Mereka adalah pelaut. Sebagian besar kapal yang berlabuh di Muara Barito datang dari daerah lain. Ada yang dari Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan beberapa pulau lainnya. Mereka melakukan aktifitas perniagaan, datang membawa barang hasil daerahnya, kemudian pulang membawa hasil dari daerah lain.
Satu dua orang lelaki itu melambai ke arahnya. Kenanga menjawab dengan lambaian pula. Kebetulan, dia mengenal mereka. Kenanga senang berkenalan dengan pelaut dari daerah lain. Dia suka mendengar cerita tentang daerah asal mereka. Dia pun ingin bisa berkunjung ke sana. Keinginan yang mustahil bisa terpenuhi, karena Ayah tidak akan mengizinkannya.
Ingat ayahnya, Kenanga kembali terngiang percakapan keluarganya pagi tadi.
“Kami memutuskan untuk minta bantuan ke Demak,” ujar Ayah sambil menyantap singkong rebus dan secangkir kopi yang dihidangkan Uma sebagai sarapan.
Tiga kakak lelakinya yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi hidangan serta Kenanga dan Uma sama-sama menatap Ayah, menunggu lanjutan cerita. Ayah—Ragapati, adalah pembantu Patih Masih, penguasa Bandar—pelabuhan yang berlokasi di Muara Sungai Barito. Itulah sebabnya pelabuhan Sungai Barito ini dinamakan Bandar Masih. Semula hanya sebuah kampung kecil yang akhirnya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Kisah Ayah tentang perkembangan politik di daerah mereka memang menarik. Terutama setelah beberapa waktu lalu dia membawa kabar yang cukup mengejutkan.
“Pemuda itu ternyata Pangeran Samudera—pewaris tahta Negara Dipa. Saat pamannya—Arya Temenggung mengambil kesempatan setelah meninggalnya Raja Sukarama sementara pewarisnya Pangeran Samudera belum dewasa dengan merebut kekuasaan, ternyata dia dan beberapa pengikut setianya berhasil melarikan diri,” cerita Ayah setelah beberapa hari sebelumnya mendadak dipanggil Patih Masih untuk sebuah musyawarah penting.
Kenanga mengenal pemuda yang dimaksud ayahnya. Kebetulan dia pernah bertemu. Saat itu seperti biasa, dia asyik berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Bercengkerama dengan beberapa pelaut yang memang mengenalnya sebagai putra Ragapati—pembantu kepercayaan Patih Masih. Mereka menghormati dan segan padanya.
Mereka tidak tahu sesungguhnya Kenanga adalah wanita, karena dia selalu memakai pakaian pria. Dia merasa tidak nyaman dan tidak leluasa dengan mengenakan pakaian para gadis umumnya. Dia lebih suka tampil sebagaimana kakak-kakaknya. Lagipula, Ayah tak pernah membedakan anak-anaknya. Dia juga mendapatkan didikan dan latihan sebagaimana ketiga kakak lelakinya, termasuk latihan bela diri dan ilmu keprajuritan.
Pemuda itu juga sama terkecohnya. Merasa mereka sebaya, dia menghampiri Kenanga. Dia mengenalkan namanya dengan menanggalkan gelar kebangsawanan. Dia bertanya di mana bisa mendapatkan perlengkapan menangkap ikan yang harganya miring.
Kenanga mengenalkan diri dengan nama Kenang—perpendekan nama Indah Kenangsari yang diberikan Umanya. Dia mulanya merasa heran, karena penampilan pemuda itu tidak seperti nelayan kebanyakan. Meskipun badannya tinggi tegap sebagaimana umumnya nelayan yang pekerja keras, namun kulitnya bersih dan terang. Selain itu, wajahnya juga tampan. Matanya bulat tajam. Alisnya tebal. Hidungnya tinggi. Rahangnya kokoh. Ditambah lagi, tutur bahasanya halus, dan gaya bicaranya sangat sopan. Tampak jelas dia dari kalangan terdidik.
Namun keheranannya tertepis dengan sendirinya melihat pemuda itu tanpa canggung menyiapkan kapal yang baru dibelinya berikut lunta dan perlengkapan nelayan lainnya. Gerakannya gesit dan trampil, tanda dia sudah terbiasa.
Ternyata, dugaan Kenanga sama sekali tidak meleset. Pemuda itu bukan orang biasa. Dia keturunan raja yang terusir dari tahta.
“Setelah Patih Masih bermusyawarah dengan Patih Kuin dan Patih Balitung, akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja. Daerah kekuasaannya meliputi Bandar Masih, Kuin, dan Balitung—dinamakan daerah Banjar. Ketiga patih akan terus mendampingi Pangeran Samudera mengelola Banjar. Jadi, mulai sekarang, kita punya seorang raja. Sebagai istananya, Patih Kuin merelakan Rumah Baanjungnya untuk ditinggali Pangeran Samudera. Dari sanalah pemerintahan akan dijalankan,” ujar Ayah penuh semangat.
Berdirinya Banjar dengan Pangeran Samudera sebagai pucuk pimpinan disambut antusias penduduk ketiga daerah. Sejak itu, denyut kehidupan di daerah tersebut terasa berbeda. Bila mulanya ketiga daerah ini bergerak sendiri-sendiri dengan pimpinannya masing-masing sekarang mereka bersatu dalam kebersamaan.
Semula, sebagian besar bumi Kalimantan di bagian selatan, termasuk ketiga wilayah ini adalah bagian dari kerajaan Hindu Negara Dipa. Dahulunya, kerajaan ini bernama Daha, dan pusat pemerintahannya terletak di daerah Margasari. Namun, seiring dengan pergantian kekuasaan, kota raja pun sering berpindah-pindah. Terakhir, saat Negara Dipa direbut Arya Temenggung, pemerintahan dipindah ke daerah Muara Bahan.
Ketiga daerah ini, meski mengakui sebagai bagian dari Negara Dipa, namun para pemimpinnya yang tangguh, mengelola sendiri daerahnya. Bandar Masih semakin berkembang menjadi kota pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal besar dari daerah lain, membuat kota pelabuhan ini semakin terbuka dan maju. Demikian juga dua daerah di sekitarnya, Kuin dan Balitung, yang punya masing-masing memiliki sungai besar yang punya akses langsung ke pelabuhan, ikut merasakan dampak kemajuan yang bergulir pesat.
Ketika ketiga daerah mulai bersatu dibawah pimpinan raja yang baru diangkat, kerajaan baru ini semakin maju. Pelabuhan mulai ditata dengan peraturan kerajaan. Perniagaan semakin terbuka. Kemakmuran masyarakat meningkat. Kesejahteraan menjadi gula yang menarik para pendatang dari daerah pedalaman untuk mengadu nasib di daerah pesisir pelabuhan.
Pesatnya kemajuan Banjar ternyata memancing ketakutan dan kekhawatiran para petinggi Negara Dipa di Muara Bahan. Terlebih setelah Arya Temenggung mengetahui, yang diangkat menjadi raja adalah Pangeran Samudera, keponakan yang telah dia rampas tahtanya. Bila dibiarkan terus besar, bukan tidak mungkin Pangeran Samudera menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam padanya.
Atas pemikiran itulah, Arya Temenggung kemudian mengirim bala tentaranya untuk memerangi Banjar. Daerah yang semula makmur sentosa, mendadak bersiaga perang. Benteng pertahanan berupa jejeran kayu galam berujung runcing dibangun di Sungai Kuin, untuk menahan lajunya gempuran pasukan Negara Dipa.
Namun bagaimanapun saktinya Patih Masih. Patih Kuin, Patih Balitung, dan sejumlah pembantu setia Pangeran Samudera yang lain, digempur terus-terusan oleh pasukan perang terlatih membuat mereka akhirnya kewalahan juga. Pasalnya, selama ini mereka hanya berkonsentrasi memajukkan pelabuhan dan perniagaan, sama sekali tidak ada persiapan untuk menghadapi perang besar kecuali sesaat setelah mendengar laporan penyerangan dari penduduk desa Anjir yang letaknya berbatasan dengan Muara Bahan.
Para petinggi dan pembantu setia Pangeran Samudera berunding. Ayah sebagai salah satu andalan Patih Masih juga ikut bermusyawarah. Baru tadi pagi dia menyampaikan hasilnya kepada keluarga. Pemberitahuan bahwa dia akan ikut rombongan utusan ke Demak untuk minta bantuan.
“Ayah ikut ke Demak?” tanya Indrapura—kakak ketiga Kenanga.
“Ya. Gentanata juga ikut. Sementara kau dan Argapati tetap di sini, membantu pertahanan selama kami tinggalkan,” tegas Ayah.
“Apa Demak mau membantu kita?” tanya Uma sangsi.
“Mudah-mudahan mau. Bukankah nenek moyang Pangeran Samudera juga dari tanah Jawa?”
Seketika Kenanga ingat cerita yang pernah dikisahkan Neneknya. Konon raja pertama Negara Daha adalah pangeran dari Kerajaan Majapahit—Suryanata, menikah dengan Putri Junjung Buih—putri yang tiba-tiba muncul dari buih sungai Barito sebagai jawaban tapa Lambung Mangkurat, pendiri kerajaan Negara Daha yang juga berasal dari tanah Jawa.
“Iya, tapi itu dulu. Sekarang kabarnya berbeda. Bahkan katanya Demak menganut kepercayaan yang berbeda dengan kita. Agama yang disebut Islam,” tambah Argapati.
Kenanga tercenung. Tiba-tiba saja dia teringat Malik—seorang pelaut kenalannya. Dia juga dari Jawa, dan juga mengaku menganut Agama Islam. Saat itu Kenanga sangat tertarik bertanya tentang agamanya. Pasalnya, Islam hanya mengakui satu Tuhan.
Sejak kecil, Kenanga memang sering mangkir bila diajak ke kuil. Dia tidak suka menyembah-nyembah tiga patung dewa yang ada di sana. Ayahnya lebih suka memuja Syiwa, sementara Uma lebih sering menyembahyangi Brahma. Guru silat keluarganya—Datuk Ganggapati, menyembah Wisnu. Ini membingungkan Kenanga. Apa ketiga dewa itu tidak saling iri dan kemudian berebut penyembah? Meski para orangtua itu menjelaskan bahwa dewa trimurti hakekatnya adalah satu, namun akalnya tak mampu menerima. Bagaimana mungkin ada Dewa perusak dan ada Dewa Pemilihara? Bukankah tujuan keduanya bertentangan? Bagaimana bisa satu?
Ketidakmengertian membuat Kenanga sering melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Dia sering mencuri sesajen yang setiap malam tertentu disediakan Umanya. Dia juga selalu menolak bila disuruh melakukan ritual yang menurutnya tidak masuk akal. Kenanga bahkan tidak mau menerima hadiah senjata sakti yang diberikan padanya karena senjata-senjata tersebut menuntut ritual yang dianggapnya akan membebaninya.
“Keris kan senjata untuk dimanfaatkan pemiliknya. Bagaimana mungkin keris bisa memanfaatkan pemilik untuk memenuhi tuntutannya; mandi kembang tiap malam tertentu dan minta sesajen sesuai keinginan? Yang bodoh itu siapa?” ucap Kenanga yang langsung disambut kemarahan Ayah dan kakak-akaknya.
Namun Kenanga memang keras kepala. Tak ada yang bisa memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Sebaliknya, bila dia menginginkan sesuatu, tak ada pula yang bisa mencegahnya. Dan sekarang, dia ikut ke Demak.
Demak mengingatkannya kepada Malik, sahabat pelautnya. Karena keduanya memiliki satu hal yang sama, Islam. Sebuah kata yang menurut Kenanga punya daya tarik kuat.
“Islam hanya percaya satu Tuhan, yang menguasai seluruh alam semesta—yang menghidupkan dan mematikan, yang menciptakan ataupun menghancurkan, yang menurunkan gerimis sekaligus meniupkan badai, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di alam.”
“Bagaimana mungkin stupa bisa berbuat seperti itu?”
“Tuhan orang Islam tidak berbentuk stupa.”
“Lalu? Berupa pohon besar? Atau api?” Kenanga bertanya karena pernah melihat penduduk pedalaman melakukan ritual untuk memuja benda-benda tersebut.
Malik menggeleng. “Tidak. Tidak semua itu.”
“Lalu?”
“Tuhan kami tidak sama dengan makhluk atau ciptaan-Nya yang lain. bagaimana mungkin Sang Pencipta sama dengan hasil ciptaan-Nya?”
“Jadi?”
“Jadi, Dia adalah Dzat yang tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, tak mungkin terpecahkan oleh akal, tak mungkin teraba oleh rasa, tapi Dia benar-benar ada. Kita tahu Dia ada karena memang terbukti Dia ada. Karena Dia seringkali membuktikan keberadaann-Nya.
Kening Kenanga berkerut. Sebenarnya banyak lagi yang ingin diketahuinya. Entah kenapa, dia merasa telah menemukan setitik cahaya. Sayang, ketika itu Malik harus kembail berlayar, meninggalkan sejuta tanda tanya besar yang masih belum terjawab tentang Dzat yang menurut Malik adalah segalanya. Dan setitik cahaya itu pun perlahan bagai bara yang mulai meredup.
Tapi, saat mendengar Demak, Kenanga bagai kembali melihat seberkas asa. Ada kemungkinan dia akan memperoleh jawaban dari sejuta tanya yang selama ini dipendamnya. Bukan tidak mungkin di Demak, pencariannya terhadap Dzat yang menggugah rasa penasaran itu akan berujung. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sana?
***
“Kenanga? Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
Gentanata yang kebetulan berpatroli sendiri ke gudang perbekalan terbelalak saat menangkap sosok di antara tumpukan bahan makanan. Kenanga tersenyum menghampiri.
“Bukan masalah sulit,” sahutnya ringan.
Memang mudah bagi Kenanga. Saat orang-orang sibuk mengangkut perbekalan ke kapal, dia ikut menyelinap. Bersembunyi di balik karung beras beberapa lama sampai kapal benar-benar meninggalkan Sungai Barito menuju Laut Jawa. Ketika itu, dia sudah benar-benar aman.
“Kalau Ayah tahu…”
“Ayah takkan tahu,” potong Kenanga cepat. “Bila Kakak tidak mengatakannya.”
Gentanata terdiam. Tentu saja, karena Ayah diberi kepercayaan menjadi salah satu pimpinan rombongan utusan ke Demak. Begitu banyak yang harus dia urus. Tentu tak punya banyak waktu untuk menjelajah seluruh isi kapal dan mengetahu keberadaan Kenanga yang dikiranya masih duduk manis di rumah.
Perlahan Genta menghela nafas. Dia tahu, dia pasti takkan sampai hati melaporkan kenakalan adiknya itu. Lagipula, apa gunanya? Toh, kapal sudah cukup jauh meninggalkan bandar. Tidak mungkin kembali hanya untuk memulangkan Kenanga. Dan lebih tidak mungkin juga bila harus menurunkan ke laut.
“Aku takkan melaporkanmu pada Ayah, asal kamu janji untuk tidak berada jauh-jauh dariku selama di negeri orang—apalagi kalau kamu sampai bikin masalah macam-macam!” Genta mengancam.
“Aku janji.”

24 September 1526
“Allahu Akbar…Allahu Akbar!”
Setiap kali memekik nyaring, serasa berlipat ganda kekuatannya bertambah. Bersama ayunan mandau dalam genggamannya, selalu ada prajurit Negara Dipa yang tersungkur terkena sabetannya. Kenanga, bersama sisa kekuatan pendukung Pangeran Samudera, berikut ratusan prajurit yang dikirim sebagai bala bantuan dari Demak, membuat pasukan Arya Temenggung yang berlipat-lipat jumlahnya kocar-kacir. Mereka mulai kewalahan dan terdesak hebat.
Utusan yang dikirim untuk minta bantuan ke Demak ternyata tidak pulang dengan tangan hampa. Sultan Trenggono dengan senang hati membantu, meski dengan satu persyaratan, bila Pangeran Samudera menang, dia harus mengizinkan penyebaran syiar Islam di Bumi Kalimantan, khususnya Banjar.
Mulanya, syarat ini dianggap cukup berat. Para utusan tidak berani mengambil keputusan. Namun, ketika Pangeran Samudera bertemu langsung dengan Khatib Dayan—pimpinan pasukan yang dikirim Demak, mereka cukup lama bercakap-cakap dan berdiskusi, akhirnya memutuskan sebuah kesepakatan, menerima persyaratan.
Kenanga yang mendengar kesepakatan itu merasa sangat lega. Saat ikut perjalanan ke Demak secara diam-diam, dia seolah kembali pulang dengan seberkas cahaya—Islam. Walau hanya sebentar dia sempat mempelajari Islam, namun dia meyakini kebenarannya yang menurutnya telah lama menjadi pertanyaan terpendam. Ketika Pangeran Samudera menyetujui syiar Islam di Kalimantan, dia pun merasa yakin pijar cahaya kebenaran itu tidak hanya akan menerangi jiwanya, namun kehidupan seluruh rakyat Banjar.
“Hentikan…hentikan perang! Tahan serangan!” teriakan menggelegar, menghentikan hingar-bingar pertempuran.
“Pangeran Samudera telah mengalahkan Arya Temenggung. Raja Negara Dipa telah menyerah,” teriak seorang lelaki gagah, bertubuh kekar. Dia adalah Patih Balitung.
“Kalau begitu, seluruh prajurit Negara Dipa kita tawan!” sambut Patih Kuin gembira.
“Tidak. Para prajurit Negara Dipa dilepaskan. Pangeran Samudera memaafkan seluruh kesalahan pamannya. Beliau membebaskan semua prajurit Negara Dipa untuk kembali pulang.”
“Apa?”
Bukan hanya Katih Kuin, semua prajurit yang terlibat dalam pertempuran tersentak kaget.
“Itu benar. Meski telah didzalimi. Pangeran Samudera dengan ikhlas memaafkan. Karena ketulusan inilah, akhirnya hati Raja Arya Temenggung terketuk. Di hadapan kami dan prajurit lainnya, Arya Temenggung secara resmi menyerahkan kembali tahta kepada Pangeran Samudera. Singgasana Negara Dipa dikembalikan kepada Pangeran Samudera! Hidup Pangeran Samudera!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Pekik kegembiraan terdengar bersahutan.

Epilog
Arya Temenggung menepati janjinya, mengembalikan tahta Negara Dipa kepada Pangeran Samudera. Pangeran Samudera memindahkan pusat pemerintahan dari Muara Bahan ke Kuin. Itulah awal perkembangan Kerajaan Banjar—Kerajaan Islam pertama di Kalimantan Selatan, karena Pangeran Samudera memutuskan untuk memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Dia kemudian membangun masjid pertama di Kalimantan Selatan, dekat istananya yang diberi nama Masjid Sultan Suriansyah. Sejak saat itu, syiar Islam semakin berkibar di bumi Kalimantan dan cahaya kebenaran berpijar di Banjar.



Tags: epik
Prev: [Galeri] Imaji Visual, Unsur Dramatik, dan Tema
Next: [Kafe Nida] Edisi 03/XV

0 komentar: