Tarian Ilalang dari Kedaton
Jumat, Mei 29, 2009 Edit This 0 Comments »
by : Dian Rennuati, Palembang
(Pemenang Harapan LMCPI VII Annida 2005)
Meninggalkan Kedaton dan Pergi jauh. Hanya itulah keinginan Dawa. Bukan karena ia tak cinta dengan mak dan ayahnya. Bukan karena ia tak cinta dusun tempat dia dilahirkan. Bukan juga karena ia ingin seperti Risnah yang pulang kampung membawa sebua mobil mewah dan seorang laki-laki kaya. Bukan karena itu. Semua karena ia tak ingin hanya menjadi ilalang liar yang menyemak di dusun kecil ini.
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Seperti juga hari-hari yang lain, ketika telapak kakinya menginjak tanah basah dan mematahkan batang-batang rumput. Ranting berserakan di hadapannya, menunggu giliran terinjak. Di kepalanya terbalut kain batik panjang, tempat bertumpu tali rotan yang bersambung ke keranjang di punggungnya. Di depan sana bayangan Mak samar. Kaki Mak lebih lebar dan terlatih. Dawa harus berpeluh banyak untuk mengimbanginya. Masih jauh ke hutan karet. Ia tak boleh banyak mengeluh, supaya energinya tak terbuang percuma.
“Gancanglah dikit!” Mak berseru tak sabar. “Lah terang hari ni.”
Tak perlu dijawab. Dawa hanya perlu memanjangkan langkah. Menaikkan frekuensi napas hingga tersengal. Meninggalkan denyut nadi hingga mencapai angka seratus. Hingga sampai...
Batang-batang karet yang dirindui sekaligus dibencinya mulai tampak. Dirindui, karena melihatnya berarti dia bisa mengistirahatkan otot kakinya sejenak. Dibenci, karena batang-batang tinggi itulah yang harus ditemuinya sepanjang hari. Dedaunan berguguran ke tanah ketika angin mempermainkan ranting-ranting pohon. Sebagian mengenai mukanya lalu luruh ke kaki. Sinar benderang mulai tampak di ufuk timur.
“Kres!” celurit Mak mulai menggores batang demi batang di depannya. Tampak menyembul cairan putih kental yang perlahan mengalir ke bawah, menuju batok-batok kelapa yang telah dipasang seperti mengkuk di sana. Satu. Dua. Tiga....
“Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!”
Dawa tersengat. Hati gadis muda itu mengkerut marah. Marah pada batang tinggi di hadapannya. Sampai kapan dia harus menjadi petani miskin di sini? Keras, dihujamkannya celurit di tangannya. Sungguh, pada saatnya nanti akan kutebang semua pohon karet ini.
***
Petang lah petang ke mane aku
Ambek kusekan di pucuk meja
Petang lah petang kemane aku
Dunie umbang dek bebada
“Sudah petang, kawanku,” Dawa mengingatkan. “Kite balek sekarang. Mak nanti marah.”
Risnah tertawa kecil. Lesung pipit di pipinya tampak dalam, sedalam suaranya. “Indah sekali petang ini. Sebentar lagi lah,” rajuknya.
Dawa menghela napas panjang. Hari ini mungkin hari terakhir dia bercengkerama bersama Risnah. Kalau toh lain kali mereka bertemu, suasananya sudah takkan sama lagi. Besok, teman masa kecilnya itu akan dibawa pergi oleh suaminya. Sang Tuan Kaya Raya yang baru seminggu menikahi Risnah.
Dalam diam, Dawa memandang paras kawannya itu lekat-lekat. Kulit wajah yang putih dan halus. Mata yang hitam bundar. Alis tipis terbentuk rapi. Dari jarak dekat, samar tampak bekas cukuran. Bibir merah merekah. Hidung mancung yang terangkat. Seingat Dawa, dulu hidung itu sama saja dengan hidung yang bertengger di wajahnya.
“Kenapa kau, Dawa? Ada yang aneh dengan wajahku ya?”
“Ngan cantik,” puji Dawa.
“Kau juga cantik.”
“Tidak. Cantikmu itu berbeda.” Aku takut melihat perubahan wajahmu.
Tanpa suara, Risnah tertawa. Giginya yang putih menyembul di antara celah bibir. “Eh, kau mau ikut aku ke Palembang?”
Tersentak oleh pertanyaan itu, Dawa menjawab gagap. “A... aku tak bisa.”
“Kenapa?”
“Mak dan Ayah. Mereka tak akan memberi izin. Sama seperti dulu, waktu aku minta izin melanjutkan sekolah. Aku ini gadis dusun, Kawan. Selama-lamanya aku akan terkurung di sini, memandangi kebun kopi. Juga menampas para,” getir nada suara itu.
“Huh. Apa kau mau seperti itu? Selamanya?”
“Aku tak punya pilihan.”
“Oh ya, kau punya.”
“Mau apa aku di kota?”
“Kau bisa bekerja seperti aku. Aku akan mengurusmu.”
“Sebenarnya, apa yang dulu Ngan kerjakan di kota?” Kau demikian berubah, sampai hampir tak kukenali lagi.
“Aku melamar kerja di pabrik mie instant. Di sana aku bertemu Roy. Dia pemilik pabrik.”
Logat Kedatonmu hilang. Aku yakin kau tidak lupa dengan bahasa ibu kita. Tetapi gaya bicaramu sekarang sudah seperti artis-artis di televisi. Membuat aku merasa asing.
“Kau bisa memulai seperti aku. Sayang, Wa. Ijazah SMP-mu tak akan berguna di sini. Paling-paling kau akan menjadi penampas Para, lalu menikah dengan pria dusun.” Risnah mencibir. “Tinggallah di rumahku,” bujuknya lagi.
“Ngan sudah bersuami. Aku tak mungkin tinggal di rumahmu. Mengganggu saja.”
“Tak apa,” Risnah memandang dengan mata berbinar. “Rumahku, eh, rumah suamiku besar sekali. Dua orang yang tinggal di sana bisa saja tidak saling menyadari kehadiran yang lain jika tidak diberi tahu.”
“Lalu, kenapa Ngan ditinggal di sini?”
“Aku akan dijemput besok. Suamiku pulang lebih dulu. Ada urusan bisnis katanya,” Risnah tersenyum kecil. “Tapi aku tahu, alasan sebenarnya adalah untuk menyiapkan kejutan untukku.”
Kejutan? Lelaki itu kembali ke Palembang dua hari yang lalu, meninggalkan istrinya di Kedaton hanya untuk merancang kejutan untuk istrinya? Dawa terbayang lelaki itu. Tubuh yang tinggi besar, dengan jas rapi. Usianya pasti jauh di atas Risnah, walaupun penampilannya seperti anak muda. Ada sesuatu yang tidak menyenangkan dengan pria itu. Sesuatu yang tidak jelas aku ketahui. Kenapa kesan itu yang aku tangkap?
Pandangan Dawa menerawang ke ufuk barat. Senja yang merah. Burung-burung mulai berterbangan kembali ke sarangnya. Pepohonan hijau mulai berbayang gelap. Udara di bukit kecil tempat dia duduk semakin berangin, membuat ilalang yang menyemak di sekitar mereka bergoyang. Menggigil. Sudah saatnya pulang, batin Dawa. Saat itulah terdengar deru mesin mobil, disusul bayangan mobil sedan mendekat. Setelah mobil itu berhenti di tepi jalan menanjak, pintunya terbuka. Seorang penumpang di dalamnya turun. Dawa merasakan tubuh Risnah menjadi tegak.
“Itu Roy! Wah, bukankah dia baru besok akan datang? Dia benar-benar membuat kejutan untukku.”
Sosok itu makin mendekat dengan senyum lebar. Dia menyeringai padaku. Pandangan mata itu liar seperti...
“Di sini rupanya bidadariku. Aku tadi dari rumah bapakmu. Katanya kau pergi dengan teman akrabmu dulu.”
Teman akrab...ya! Dulu kau adalah teman akrabku. Apakah sekarang kau masih teman akrabku? Kita dulu merajai peringkat juara di SD dan SMP. Kita dulu tak pernah berpisah sampai kau tiba-tiba memutuskan untuk merantau ke Palembang.
“Kapan kau sampai?” suara Risnah manja.
“Sudah agak lama, Darling. Aku sengaja membiarkan kau berkangen-kangenan dengan temanmu. Sudah lima tahun ya, kalian tak saling jumpa?”
Matanya mengerling padaku...
“Ini temanmu yang datang di hari pertama kita sampai kan? Kami belum sempat berkenalan,” pria itu mengulurkan tangan.
Dawa tidak menyambutnya. Mulutnya hanya bisa berucap, “Eh...”
Risnah mengakak. “Roy, dia ini dak pernah mau berjabat tangan dengan laki-laki.
Kau masih ingat rupanya. Bukankah dulu kau juga begitu? Kita menuruti kata Cak Mai, guru mengaji kita dulu.
“Benarkah? Gila, aku lupa kalau tempat ini masih menganut adat istiadat kuno.” Roy pura-pura terkejut, menutup mulutnya dengan kesepuluh jari. Jemari itu penuh cincin kuning bermata jeli. Menyilaukan.
“Ayolah kita pulang,” Risnah menyambut tangan penuh cincin itu.
Mereka bertiga pulang bersama. Sepanjang perjalanan, Dawa hanya diam sementara Risnah dengan semangat masih berusaha mengubah keputusannya. Dawa diturunkan di depan rumahnya, tak jauh dari rumah orang tua Risnah.
Dari dalam mobil sedan yang kini dijauhinya, tanpa disadarinya dua pasang mata mengamati. Mata dua orang pria. Roy dan supirnya.
“Ayu dan alami. Original...” seulas senyum tipis tersungging di bibir salah seorang lelaki. Yang lain mengangguk setuju.
“Aduhai, Bos. banyak yang cari tipe seperti itu.”
Di belakang, Risnah asyik memandang burung-burung dan senja merah yang mulai menghitam. “Sayang, kita pulang sekarang atau besok?”
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Matahari akan terbit nanti, tapi tidak sekarang. Dawa mengayunkan langkah dengan berat. Pergi dari Kedaton. Tawaran yang menggiurkan. Dia tak lagi harus bergegas tiap subuh. Bisa lebih lama bercengkerama dengan sajadah dan mukenanya, menyambung tilawah sampai mentari dini muncul. Tidak harus berjalan jauh ke hutan karet untuk menorehkan luka di batang-batang kurus itu.
Derak ranting patah mengiringi langkah Dawa. Seandainya dia bisa pergi ke kota, dia tak ingin menjadi seperti Risnah. Dia ingin menjadi seperti ibu Lili, kepala sekolah di SMP-nya dulu. Ibu Lili juga dari kota. Lulusan universitas. Ibu Lili dulu selalu memuji nilai-nilainya. Ibu Lili selalu mengatakan kalau setiap orang punya hak untuk melanjutkan pendidikan. Setiap orang, bukan hanya anak laki-laki.
Mak dan Ayah tak setuju. Anak perempuan, sekolah tinggi mau apa? Tak perlu sekolah untuk bisa hamil dan melahirkan. Jika ada di antara tujuh anaknya yang pergi melanjutkan sekolah ke kota, dia pasti salah satu dari tiga adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya! Padahal mereka bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar. Masih lama untuk sampai ke jenjang SMU.
Kalau saja ada jalan lain. Jalan yang akan membawanya menuju bangku sekolah lanjutan. Jalan yang akan memuaskan keingintahuan yang bergelora di dadanya tentang bagaimana wujud tempat Bu Lili kuliah dulu. Bu Lili dulu pernah berjanji akan mengusahakan beasiswa untuknya. Janji yang tak kunjung ditepati sampai dia tamat SMP. Tak ada penerimaan beasiswa, kata Bu Lili dengan pandangan sedih. Tak ada. Karena itulah dia berada di sini, menjadi penampas Para bersama Mak.
Adakah jalan itu? Jalan yang akan menjadikannya sebatang pohon yang berbuah lebat lagi manis, yang akarnya menghujam di tanah Kedaton dan puncaknya melangit hingga angkasa. Pohon rindang tempat berteduh Ayah, Mak, dan keenam adiknya. Buah ranum dari pohonnya akan mengalirkan energi buat seluruh penghuni dusun. Jika dia berhasil menjadi orang 'besar', dia bisa mengaspal seluruh jalan di sini. Dia juga akan membelikan mobil untuk dipakai seluruh penghuni dusun untuk menjual hasil kebun ke kota. Pasti harganya akan menjadi lebih mahal. Uang mereka juga akan lebih banyak. Hanya itu yang dia inginkan.
Menjadi seperti Risnah? Memiliki harta berlimpah dan hidup bahagia? Apakah Risnah bahagia? Yang terakhir sangat disangsikan. Dawa bergidik. Kemarin malam, selepas isya, suami Risnah menemuinya hanya untuk menawarkan bantuan keluar dari Kedaton. Tinggal di Palembang menemani Risnah yang katanya sering kesepian. Sepanjang pembicaraan, matanya yang liar menjelajah tubuh Dawa seolah ingin melumatnya. Saat kata “tidak” terucap dari mulut Dawa, pria itu mencoba menjamah tangannya. Mengingat itu semua, Dawa mengelus tangannya sendiri. Tangan kanannya yang kemarin telah menginggalkan bekas tamparan di wajah Roy.
Derak ranting masih terdengar di bawah kakinya. Cuma derak itu yang menemani perjalanannya. Kaki Mak terkilir kemarin sore saat akan mengambil air di sungai. Adik-adiknya yang lain ada yang sekolah, ada yang pergi ke kebun kopi bersama Ayah. Bayang-bayang suram di sekitarnya mulai pudar ditimpa cahaya matahari. Burung-burung mulai bernyanyi menyemarakkan subuh yang menjelang. Sebentar lagi dia sampai.
Sebentar lagi...langkahnya terhenti. Ada yang lain. Ada derak langkah lain di belakangnya. Langkah diiringi dengus napas berat dan hawa napsu dendam. Dawa berbalik. Matanya silau oleh pantulan mentari di deretan cincin bermata jeli. Cincin itu berderet di jemari seorang lelaki.
“Manis, kita nikmati dulu pagi yang indah ini,” suara dari nereka mengoyak hatinya. Mungkin sebentar lagi...tubuhnya.
Aku tak kan pernah sampai di Palembang. Aku tak akan sempat menjadi pohon besar rindang berbuah lebat. Aku juga akan berhenti menjadi ilalang liar. Aku akan mempertahankan diri, kalau perlu sampai tak berdarah lagi.
Dawa meraba gagang celurit yang terselip di keranjangnya. Biarlah...
Plg, 21 “06” 05
Keterangan:
Gancanglah dikit! : Cepatlah sedikit
Lah terang hari ni: sudah terang hari ini
Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!: Apa kerjamu? Termenung saja mirip patung.
Ngan: Kamu
Menampas Para: menyadap karet
(Pemenang Harapan LMCPI VII Annida 2005)
Meninggalkan Kedaton dan Pergi jauh. Hanya itulah keinginan Dawa. Bukan karena ia tak cinta dengan mak dan ayahnya. Bukan karena ia tak cinta dusun tempat dia dilahirkan. Bukan juga karena ia ingin seperti Risnah yang pulang kampung membawa sebua mobil mewah dan seorang laki-laki kaya. Bukan karena itu. Semua karena ia tak ingin hanya menjadi ilalang liar yang menyemak di dusun kecil ini.
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Seperti juga hari-hari yang lain, ketika telapak kakinya menginjak tanah basah dan mematahkan batang-batang rumput. Ranting berserakan di hadapannya, menunggu giliran terinjak. Di kepalanya terbalut kain batik panjang, tempat bertumpu tali rotan yang bersambung ke keranjang di punggungnya. Di depan sana bayangan Mak samar. Kaki Mak lebih lebar dan terlatih. Dawa harus berpeluh banyak untuk mengimbanginya. Masih jauh ke hutan karet. Ia tak boleh banyak mengeluh, supaya energinya tak terbuang percuma.
“Gancanglah dikit!” Mak berseru tak sabar. “Lah terang hari ni.”
Tak perlu dijawab. Dawa hanya perlu memanjangkan langkah. Menaikkan frekuensi napas hingga tersengal. Meninggalkan denyut nadi hingga mencapai angka seratus. Hingga sampai...
Batang-batang karet yang dirindui sekaligus dibencinya mulai tampak. Dirindui, karena melihatnya berarti dia bisa mengistirahatkan otot kakinya sejenak. Dibenci, karena batang-batang tinggi itulah yang harus ditemuinya sepanjang hari. Dedaunan berguguran ke tanah ketika angin mempermainkan ranting-ranting pohon. Sebagian mengenai mukanya lalu luruh ke kaki. Sinar benderang mulai tampak di ufuk timur.
“Kres!” celurit Mak mulai menggores batang demi batang di depannya. Tampak menyembul cairan putih kental yang perlahan mengalir ke bawah, menuju batok-batok kelapa yang telah dipasang seperti mengkuk di sana. Satu. Dua. Tiga....
“Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!”
Dawa tersengat. Hati gadis muda itu mengkerut marah. Marah pada batang tinggi di hadapannya. Sampai kapan dia harus menjadi petani miskin di sini? Keras, dihujamkannya celurit di tangannya. Sungguh, pada saatnya nanti akan kutebang semua pohon karet ini.
***
Petang lah petang ke mane aku
Ambek kusekan di pucuk meja
Petang lah petang kemane aku
Dunie umbang dek bebada
“Sudah petang, kawanku,” Dawa mengingatkan. “Kite balek sekarang. Mak nanti marah.”
Risnah tertawa kecil. Lesung pipit di pipinya tampak dalam, sedalam suaranya. “Indah sekali petang ini. Sebentar lagi lah,” rajuknya.
Dawa menghela napas panjang. Hari ini mungkin hari terakhir dia bercengkerama bersama Risnah. Kalau toh lain kali mereka bertemu, suasananya sudah takkan sama lagi. Besok, teman masa kecilnya itu akan dibawa pergi oleh suaminya. Sang Tuan Kaya Raya yang baru seminggu menikahi Risnah.
Dalam diam, Dawa memandang paras kawannya itu lekat-lekat. Kulit wajah yang putih dan halus. Mata yang hitam bundar. Alis tipis terbentuk rapi. Dari jarak dekat, samar tampak bekas cukuran. Bibir merah merekah. Hidung mancung yang terangkat. Seingat Dawa, dulu hidung itu sama saja dengan hidung yang bertengger di wajahnya.
“Kenapa kau, Dawa? Ada yang aneh dengan wajahku ya?”
“Ngan cantik,” puji Dawa.
“Kau juga cantik.”
“Tidak. Cantikmu itu berbeda.” Aku takut melihat perubahan wajahmu.
Tanpa suara, Risnah tertawa. Giginya yang putih menyembul di antara celah bibir. “Eh, kau mau ikut aku ke Palembang?”
Tersentak oleh pertanyaan itu, Dawa menjawab gagap. “A... aku tak bisa.”
“Kenapa?”
“Mak dan Ayah. Mereka tak akan memberi izin. Sama seperti dulu, waktu aku minta izin melanjutkan sekolah. Aku ini gadis dusun, Kawan. Selama-lamanya aku akan terkurung di sini, memandangi kebun kopi. Juga menampas para,” getir nada suara itu.
“Huh. Apa kau mau seperti itu? Selamanya?”
“Aku tak punya pilihan.”
“Oh ya, kau punya.”
“Mau apa aku di kota?”
“Kau bisa bekerja seperti aku. Aku akan mengurusmu.”
“Sebenarnya, apa yang dulu Ngan kerjakan di kota?” Kau demikian berubah, sampai hampir tak kukenali lagi.
“Aku melamar kerja di pabrik mie instant. Di sana aku bertemu Roy. Dia pemilik pabrik.”
Logat Kedatonmu hilang. Aku yakin kau tidak lupa dengan bahasa ibu kita. Tetapi gaya bicaramu sekarang sudah seperti artis-artis di televisi. Membuat aku merasa asing.
“Kau bisa memulai seperti aku. Sayang, Wa. Ijazah SMP-mu tak akan berguna di sini. Paling-paling kau akan menjadi penampas Para, lalu menikah dengan pria dusun.” Risnah mencibir. “Tinggallah di rumahku,” bujuknya lagi.
“Ngan sudah bersuami. Aku tak mungkin tinggal di rumahmu. Mengganggu saja.”
“Tak apa,” Risnah memandang dengan mata berbinar. “Rumahku, eh, rumah suamiku besar sekali. Dua orang yang tinggal di sana bisa saja tidak saling menyadari kehadiran yang lain jika tidak diberi tahu.”
“Lalu, kenapa Ngan ditinggal di sini?”
“Aku akan dijemput besok. Suamiku pulang lebih dulu. Ada urusan bisnis katanya,” Risnah tersenyum kecil. “Tapi aku tahu, alasan sebenarnya adalah untuk menyiapkan kejutan untukku.”
Kejutan? Lelaki itu kembali ke Palembang dua hari yang lalu, meninggalkan istrinya di Kedaton hanya untuk merancang kejutan untuk istrinya? Dawa terbayang lelaki itu. Tubuh yang tinggi besar, dengan jas rapi. Usianya pasti jauh di atas Risnah, walaupun penampilannya seperti anak muda. Ada sesuatu yang tidak menyenangkan dengan pria itu. Sesuatu yang tidak jelas aku ketahui. Kenapa kesan itu yang aku tangkap?
Pandangan Dawa menerawang ke ufuk barat. Senja yang merah. Burung-burung mulai berterbangan kembali ke sarangnya. Pepohonan hijau mulai berbayang gelap. Udara di bukit kecil tempat dia duduk semakin berangin, membuat ilalang yang menyemak di sekitar mereka bergoyang. Menggigil. Sudah saatnya pulang, batin Dawa. Saat itulah terdengar deru mesin mobil, disusul bayangan mobil sedan mendekat. Setelah mobil itu berhenti di tepi jalan menanjak, pintunya terbuka. Seorang penumpang di dalamnya turun. Dawa merasakan tubuh Risnah menjadi tegak.
“Itu Roy! Wah, bukankah dia baru besok akan datang? Dia benar-benar membuat kejutan untukku.”
Sosok itu makin mendekat dengan senyum lebar. Dia menyeringai padaku. Pandangan mata itu liar seperti...
“Di sini rupanya bidadariku. Aku tadi dari rumah bapakmu. Katanya kau pergi dengan teman akrabmu dulu.”
Teman akrab...ya! Dulu kau adalah teman akrabku. Apakah sekarang kau masih teman akrabku? Kita dulu merajai peringkat juara di SD dan SMP. Kita dulu tak pernah berpisah sampai kau tiba-tiba memutuskan untuk merantau ke Palembang.
“Kapan kau sampai?” suara Risnah manja.
“Sudah agak lama, Darling. Aku sengaja membiarkan kau berkangen-kangenan dengan temanmu. Sudah lima tahun ya, kalian tak saling jumpa?”
Matanya mengerling padaku...
“Ini temanmu yang datang di hari pertama kita sampai kan? Kami belum sempat berkenalan,” pria itu mengulurkan tangan.
Dawa tidak menyambutnya. Mulutnya hanya bisa berucap, “Eh...”
Risnah mengakak. “Roy, dia ini dak pernah mau berjabat tangan dengan laki-laki.
Kau masih ingat rupanya. Bukankah dulu kau juga begitu? Kita menuruti kata Cak Mai, guru mengaji kita dulu.
“Benarkah? Gila, aku lupa kalau tempat ini masih menganut adat istiadat kuno.” Roy pura-pura terkejut, menutup mulutnya dengan kesepuluh jari. Jemari itu penuh cincin kuning bermata jeli. Menyilaukan.
“Ayolah kita pulang,” Risnah menyambut tangan penuh cincin itu.
Mereka bertiga pulang bersama. Sepanjang perjalanan, Dawa hanya diam sementara Risnah dengan semangat masih berusaha mengubah keputusannya. Dawa diturunkan di depan rumahnya, tak jauh dari rumah orang tua Risnah.
Dari dalam mobil sedan yang kini dijauhinya, tanpa disadarinya dua pasang mata mengamati. Mata dua orang pria. Roy dan supirnya.
“Ayu dan alami. Original...” seulas senyum tipis tersungging di bibir salah seorang lelaki. Yang lain mengangguk setuju.
“Aduhai, Bos. banyak yang cari tipe seperti itu.”
Di belakang, Risnah asyik memandang burung-burung dan senja merah yang mulai menghitam. “Sayang, kita pulang sekarang atau besok?”
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Matahari akan terbit nanti, tapi tidak sekarang. Dawa mengayunkan langkah dengan berat. Pergi dari Kedaton. Tawaran yang menggiurkan. Dia tak lagi harus bergegas tiap subuh. Bisa lebih lama bercengkerama dengan sajadah dan mukenanya, menyambung tilawah sampai mentari dini muncul. Tidak harus berjalan jauh ke hutan karet untuk menorehkan luka di batang-batang kurus itu.
Derak ranting patah mengiringi langkah Dawa. Seandainya dia bisa pergi ke kota, dia tak ingin menjadi seperti Risnah. Dia ingin menjadi seperti ibu Lili, kepala sekolah di SMP-nya dulu. Ibu Lili juga dari kota. Lulusan universitas. Ibu Lili dulu selalu memuji nilai-nilainya. Ibu Lili selalu mengatakan kalau setiap orang punya hak untuk melanjutkan pendidikan. Setiap orang, bukan hanya anak laki-laki.
Mak dan Ayah tak setuju. Anak perempuan, sekolah tinggi mau apa? Tak perlu sekolah untuk bisa hamil dan melahirkan. Jika ada di antara tujuh anaknya yang pergi melanjutkan sekolah ke kota, dia pasti salah satu dari tiga adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya! Padahal mereka bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar. Masih lama untuk sampai ke jenjang SMU.
Kalau saja ada jalan lain. Jalan yang akan membawanya menuju bangku sekolah lanjutan. Jalan yang akan memuaskan keingintahuan yang bergelora di dadanya tentang bagaimana wujud tempat Bu Lili kuliah dulu. Bu Lili dulu pernah berjanji akan mengusahakan beasiswa untuknya. Janji yang tak kunjung ditepati sampai dia tamat SMP. Tak ada penerimaan beasiswa, kata Bu Lili dengan pandangan sedih. Tak ada. Karena itulah dia berada di sini, menjadi penampas Para bersama Mak.
Adakah jalan itu? Jalan yang akan menjadikannya sebatang pohon yang berbuah lebat lagi manis, yang akarnya menghujam di tanah Kedaton dan puncaknya melangit hingga angkasa. Pohon rindang tempat berteduh Ayah, Mak, dan keenam adiknya. Buah ranum dari pohonnya akan mengalirkan energi buat seluruh penghuni dusun. Jika dia berhasil menjadi orang 'besar', dia bisa mengaspal seluruh jalan di sini. Dia juga akan membelikan mobil untuk dipakai seluruh penghuni dusun untuk menjual hasil kebun ke kota. Pasti harganya akan menjadi lebih mahal. Uang mereka juga akan lebih banyak. Hanya itu yang dia inginkan.
Menjadi seperti Risnah? Memiliki harta berlimpah dan hidup bahagia? Apakah Risnah bahagia? Yang terakhir sangat disangsikan. Dawa bergidik. Kemarin malam, selepas isya, suami Risnah menemuinya hanya untuk menawarkan bantuan keluar dari Kedaton. Tinggal di Palembang menemani Risnah yang katanya sering kesepian. Sepanjang pembicaraan, matanya yang liar menjelajah tubuh Dawa seolah ingin melumatnya. Saat kata “tidak” terucap dari mulut Dawa, pria itu mencoba menjamah tangannya. Mengingat itu semua, Dawa mengelus tangannya sendiri. Tangan kanannya yang kemarin telah menginggalkan bekas tamparan di wajah Roy.
Derak ranting masih terdengar di bawah kakinya. Cuma derak itu yang menemani perjalanannya. Kaki Mak terkilir kemarin sore saat akan mengambil air di sungai. Adik-adiknya yang lain ada yang sekolah, ada yang pergi ke kebun kopi bersama Ayah. Bayang-bayang suram di sekitarnya mulai pudar ditimpa cahaya matahari. Burung-burung mulai bernyanyi menyemarakkan subuh yang menjelang. Sebentar lagi dia sampai.
Sebentar lagi...langkahnya terhenti. Ada yang lain. Ada derak langkah lain di belakangnya. Langkah diiringi dengus napas berat dan hawa napsu dendam. Dawa berbalik. Matanya silau oleh pantulan mentari di deretan cincin bermata jeli. Cincin itu berderet di jemari seorang lelaki.
“Manis, kita nikmati dulu pagi yang indah ini,” suara dari nereka mengoyak hatinya. Mungkin sebentar lagi...tubuhnya.
Aku tak kan pernah sampai di Palembang. Aku tak akan sempat menjadi pohon besar rindang berbuah lebat. Aku juga akan berhenti menjadi ilalang liar. Aku akan mempertahankan diri, kalau perlu sampai tak berdarah lagi.
Dawa meraba gagang celurit yang terselip di keranjangnya. Biarlah...
Plg, 21 “06” 05
Keterangan:
Gancanglah dikit! : Cepatlah sedikit
Lah terang hari ni: sudah terang hari ini
Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!: Apa kerjamu? Termenung saja mirip patung.
Ngan: Kamu
Menampas Para: menyadap karet