Minggu, November 15, 2009
Edit This
Ketika Wajah Penat Memikirkan Dunia
Maka Berwudhulah
Ketika Tangan Letih Menggapai Cita-Cita
Maka Bertakbirlah
Ketika Pundak Tak Kuasa Memikul Amanah
Maka Bersujudlah
Iklaskan semua
Dan Mendekatlah Pada-Nya
Agar Tunduk
Disaat yang lain angkuh
Agar Teguh di Saat yang lain runtuh
Agar Tegar di saat yang lain terlempar
Semoga Allah menempatkan kita
Dalam Golongan orang-orang yang sabar
Amin
Oleh : Ibnu Mursyid
Selasa, Oktober 13, 2009
Edit This
Gempa bumi yang terjadi memang menakutkan, namun hal ini tidak bisa dihindari mengingat Indonesia termasuk negara yang rawan akan gempa.
Untuk itu, mempelajari dan mewaspadai ciri-ciri yang biasanya terjadi sebelum gempa adalah hal yang bijaksana.
Ada beberapa ciri-ciri yang dapat terlihat jika akan terjadi gempa bumi. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain:
Lihat ke langit
kalau di langit ada awan yang berbentuk seperti angin tornado/seperti pohon/seperti batang, bentuknya berdiri, itu adalah awan gempa yang biasanya muncul sebelum gempa terjadi.
Awan yang berbentuk aneh itu terjadi karena adanya gelombang elektromagnetis berkekuatan hebat dari dasar bumi, sehingga gelombang elektromagnetis tersebut ‘menghisap’ daya listrik di awan, oleh karena itu bentuk awannya jadi seperti tersedot ke bawah.
Gelombang elektromagnetis berkekuatan besar itu sendiri terjadi akibat adanya patahan atau pergeseran lempeng bumi. Tapi kemunculan awan gempa seperti itu di langit tidak selalu berarti akan ada gempa. Bisa saja memang bentuknya seperti itu.
Coba diuji medan elektromagnetis di dalam rumah
- Cek siaran TV, apakah ada suara brebet-brebet ataukah tidak
- Jika terdapat mesin fax, cek apakah lampunya blinking biarpun lagi tidak transmit data
- Coba minta orang lain mengirim fax ke kita, cek apakah teksnya yang diterima berantakan atau tidak
- Coba matikan aliran listrik. Cek apakah lampu neon tetap menyala redup/remang- remang biarpun tak ada arus listrik
Kalo tiba-tiba TV brebet-brebet, lampu fax blinking, padahal sedang tidak transmitting, teks yang kita terima berantakan dan neon tetap menyala biarpun tidak ada arus listrik, itu berarti memang sedang ada gelombang elektromagnetis luar biasa yang sedang terjadi tapi kasat mata dan tidak dapat dirasakan oleh manusia.
Perhatikan hewan-hewan
Cek apakah hewan-hewan seperti “menghilang”, lari atau bertingkah laku aneh/gelisah. Insting hewan biasanya tajam dan hewan bisa merasakan gelombang elektromagnetis.
Air tanah
Lihat juga apakah air tanah tiba-tiba menjadi surut tidak seperti biasanya.
Jika empat tanda ini ada atau terlihat dalam waktu bersamaan, segeralah bersiap-siap untuk evakuasi. Empat tanda tersebut kemungkinan besar menunjukkan memang akan ada gempa berkekuatan besar.
Walaupun demikian, adanya awan gempa yang bentuknya aneh itu, tetap tidak bisa memastikan kapan gempa terjadi.
Oleh karena itu jangan tunggu-tunggu lagi, sebisa mungkin langsung melakukan tindakan penyelamatan diri untuk menghindari hal-hal yang paling buruk.
Kalau skala gempanya besar dan episentrumnya terletak di laut, kita harus selalu aware akan datangnya gelombang tsunami. Tingginya gelombang bisa puluhan meter, bisa juga hanya dua meter. Tapi biarpun hanya dua meter, gelombangnya tidak main-main. Kekuatannya dahsyat (seperti tidak ada habisnya) dan tekanannya bisa mencapai 190 kilogram. (guugling.com)
10 Tips Menghadapi Gempa Diantaranya:
Jika gempabumi menguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk yang dapat dijadikan pegangan dimanapun anda berada.
1. DI DALAM RUMAH
didalam rumah
Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda harus mengupayakan keselamatan diri anda dan keluarga anda. Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda. Jika anda tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal. Jika anda sedang menyalakan kompor maka matikan segera untuk mencegah terjadinya kebakaran.
2. DI LUAR RUMAH
diluar rumah
Lindungi kepala anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca dan papan-papan reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas atau apapun yang anda bawa.
3. DI MALL, BIOSKOP, DAN LANTAI DASAR MALL
didalam bioskop
Jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari pegawai atau satpam.
4. DI DALAM LIFT
didalam lift
Jangan menggunakan lift saat terjadi gempabumi atau kebakaran. Jika anda merasakan getaran gempabumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia.
5. DI DALAM KERETA API
didalam kereta api
Berpeganganlah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh seandainya kereta dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah mengikuti penjelasan dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi petugas kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.
6. DI DALAM MOBIL
di dalam mobil
Saat terjadi gempabumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak terkunci.
7. DI GUNUNG/PANTAI
di tempat wisata
Ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami. Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak, cepatlah mengungsi ke dataran yang tinggi.
8. BERI PERTOLONGAN
beripertolongan
Sudah dapat diramalkan bahwa banyak orang akan cedera saat terjadi gempabumi besar. Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian maka bersiaplah memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang berada di sekitar anda.
9. EVAKUASI
evakuasi
Tempat-tempat pengungsian biasanya telah diatur oleh pemerintah daerah. Pengungsian perlu dilakukan jika kebakaran meluas akibat gempabumi. Pada prinsipnya, evakuasi dilakukan dengan berjalan kaki dibawah kawalan petugas polisi atau instansi pemerintah. Bawalah barang-barang secukupnya.
10. DENGARKAN INFORMASI
dengarkan informasi
Saat gempabumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat memperoleh informasi yang benar dari pihak berwenang, polisi, atau petugas PMK. Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas. (portal.vsi. esdm.go.id)
Rabu, September 16, 2009
Edit This
by : Syaefudin (Milist Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia)
“Sains hanya melahirkan cendekia tak berbudi, pemikir tanpa hati, dan ilmuwan miskin nurani. Ilmu pengetahuan saat ini belum mampu memberi rasa takut terhadap Pencipta alam, sedang teknologi sebagai produknya ibarat pelena tidur panjang manusia. Tak sedikit yang lupa akan hakikat penciptaan mereka”. Benarkah?
Reposisi Sains Seorang Muslim
Bagi insan akademisi, sains tidaklah hal asing. Bahkan, seorang biasa yang belum mengenyam rasanya ‘bangku’ pendidikan pun sebenarnya sudah mengenal contoh peristiwa sains. Sejak kecil, kita dikenalkan dengan ilmu pengetahuan meski sekedar perumpamaan sederhana. Misalnya, suatu saat kita melihat ada benda bulat besar berwarna kuning terang di angkasa. Lalu, ibu yang sabar dengan cekat berkata “itu namanya matahari, nak”.
Sains berperan penting dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan, kita mampu berkomunikasi dengan saudara di tanah seberang sana. Pun, melalui sains kita bisa mengindera, menemukan jawab fenomena yang terjadi alam raya. Namun, apakah benar fungsi sains sebatas itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya melihat kembali definisi sains. Secara sederhana, sains atau ilmu pengetahuan adalah hasil penafsiran manusia, melalui serangkaian kegiatan ilmiah, tentang alam semesta serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Alam semesta yang dimaksud di sini adalah semua ciptaan Allah termasuk manusia itu sendiri.
Jadi, sejatinya sains bukan sekedar pengetahuan serta perangkat canggih sebagai hasilnya yang berguna bagi kebutuhan hidup manusia dalam rangka memakmurkan bumi dan menjadi khalifah Allah di bumi. Namun, ia juga berperan sebagai ayat (tanda-tanda kebesaran Allah) yang mengenalkan manusia kepada Pencipta alam semesta, beserta sifat-sifat- Nya sebagaimana firman Allah:
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu . Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal” (QS. Thaahaa, 20:53-54)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yuunus, 10:5).
Dalam tinjauan sejarah, kisah Nabi Ibrahim mengenal Tuhan yang sesungguhnya adalah contoh nyata fungsi ayat pada alam semesta. Dalam Alqur'an surat Al-An’aam, Allah mengisahkan bagaimana konsepsi Ibrahim tentang fenomena alam yang sangat sederhana mampu menghantarkannya kepada pengenalan Allah:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan kau bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’aam, 6:74-79).
Di samping Nabi Ibrahim, Nabi lain yang disebut sebagai uswah hasanah dalam Alqur'an, yakni Rasulullah Muhammad SAW mengenal Allah melalui tafakkur alam. Sebelum turun wahyu Allah yang pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad gemar mengasingkan diri ke gua Hira di Jabal Nur. Selain beribadah, beliau juga menghabiskan waktunya dengan memikirkan (bertafakkur) keagungan alam di sekitarnya dan adanya kekuatan tak terhingga di balik alam semesta.
Tidaklah mengherankan jika pada akhirnya perintah eksplorasi fenomena alam ini menjadi salah satu bentuk dakwah para Nabi dalam mengenalkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam. Misalnya, Nabi Nuh AS menyeru kaumnya agar beriman kepada Allah dengan mengingatkan mereka akan beragam keajaiban fenomena alam semesta:
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (QS. Nuh, 71:13-20).
Nabi Ibrahim a.s. pun berdakwah kepada Namrudz dengan menggunakan pemaparan tentang fenomena alam, dan mampu membungkam sang raja dengan kekuasaan Allah di alam:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah, 2:258).
Kepada Nabi Muhammad saw, Allah menurunkan wahyu Alqur'an yang berisi seruan untuk meneliti dan mempelajari fenomena alam agar manusia menjadi hamba yang semakin mengenal Rabbnya dan bertaqwa:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan, 3:190-191).
Sedikit gubahan dari Materi ‘Sains Ideal dalam Perspektif Islam’ karya Catur Sriherwanto (Direktur Harun Yahya Indonesia). http://hidayatullah .com/berita/ tafakur.html
Selasa, Agustus 11, 2009
Edit This
Bulan Sya’ban telah kita masuki. Dalam bulan-bulan mulai bulan Rajab, pendahulu kita menganjurkan untuk melantunkan do’a:
“Allaahumma baariklanaa fii Rajaba wa Sya’bana wa balighna Ramadhana.”
Yang artinya: “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban ini, dan sampaikanlah umur kami bertemu Ramadhan.”
Dalam lafadz do’a di atas terdapat kata “berkahilah”. Apakah makna dari “berkah” itu? Berkah memiliki makna ziyadatul hasan atau ziyadatul khair, yaitu bertambahnya kebaikan. Sesuatu itu bisa disebut berkah manakala ada sebuah peningkatan atau bertambahnya kebaikan yang dikarenakan sesuatu itu. Misalnya seseorang memiliki keberkahan rizki, itu berarti rizki tersebut memberikan tambahan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Entah dengan rizki itu dia dapat menjalankan ibadah dengan lebih baik, atau menunaikan hak orang-orang fakir dan miskin, dan seterusnya. Yang jelas ada nilai kebaikan dari sesuatu itu, yang tentunya kebaikan tidak hanya di dunia namun juga di akhirat.
Kaitannya dengan bulan Rajab dan Sya’ban ini, kita memohon kepada Allah keberkahan agar ada suatu pertambahan kebaikan dalam diri kita. Sehingga nantinya juga siap dalam memasuki sebuah masa tarbiyah selama sebulan yang telah diprogramkan Allah secara rutin. Rasulullah saw. pun senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi Ramadhan ini sejak Rajab, salah satunya dengan memperbanyak puasa. Dan kita, tentunya juga harus melakukan persiapan-persiapan menuju sarana tarbiyah kita, Madrasah Ramadhan ini sehingga nantinya kita dapat memperoleh hikmah Ramadhan.
Kita berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah Ramadhan kami kali ini hamparan taman bunga, tempat kami merasakan indahnya hidup bebas dari segala amarah dan syahwat.”
Ramadhan adalah bulan dimana kita hendaklah melepaskan diri dari amarah dan syahwat. Karena sejatinya berpuasa dalam bulan Ramadhan adalah menahan diri dari syahwat (keinginan) baik mulut, perut dan apa yang ada di bawah perut, serta menahan diri dari amarah. Dua hal itulah yang senantiasa membebani hidup manusia sehingga tidak dapat merasakan hakikat hidup. Ketika kita bisa membebaskan diri dari amarah dan syahwat, maka hidup ini akan terasa enak, nikmat, ringan dalam beramal dan berbuat kebaikan. Nah, hal itulah yang menjadi target kualifikasi dari para lulusan Madrasah Ramadhan. Lalu, bagaimanakah persiapan kita agar dapat menjadi murid yang baik di Madrasah Ramadhan?
Spesifikasi Madrasah Ramadhan
Program Madrasah Ramadhan dirancang untuk menghasilkan lulusan dengan gelar M.Tq. (Manusia Taqwa atau Master of Taqwa juga boleh dech ^___^). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dalam ayat itu terdapat kata “la’alla”. Kata “la’alla” ini jika yang mengucapkan manusia maka memiliki makna harapan. Jadi “la’allakum tattaquun” berarti “semoga kamu bertaqwa”. Akan tetapi lain halnya jika yang mengatakan “la’alla” adalah Allah, maka bukan bermakna harapan lagi namun bermakna kepastian (insya’i). Sehingga “la’allakum tattaquun” berarti “agar kamu bertaqwa”.
Dari makna “la’alla” di atas dapat dipahami bahwasannya menjadi taqwa itu adalah kepastian, meraih gelar M.Tq. adalah sebuah keniscayaan. Namun tentu saja dengan syarat, telah memenuhi kualifikasi tertentu. Sebagaimana kita ingin meraih gelar sarjana, tidak mungkin kita mencapainya tanpa kita melaksanakan aturan-aturan sebagaimana yang ditetapkan, misalnya kita sering sekali mombolos kuliah, tidak mengerjakan tugas yang diberikan dosen, tidak mengikuti ujian dan sebagainya. Untuk meraih gelar M.Tq. pun kita diharuskan memenuhi beberapa kualifikasi.
Gelar M.Tq. akan dianugerahkan jika memenuhi kualifikasi berikut ini.
a.Tawadhu’
Kesadaran bahwa seluruh kelebihan dan keistimewaan yang ada pada diri kita bukanlah alat untuk menyombongkan diri.
b.Qana’ah
Selalu menerima dengan lapang apa saja yang Allah karuniakan. Mendekap suka maupun duka dengan kadar kemesraan yang sama.
c.Wara’
Menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah. Pada bulan Ramadhan, yang halal saja (makan dan minum) ditahan apalagi yang haram.
d.Yakin
Bahwa sesuangguhnya musibah yang ditimpakan kepada diri, suatau saat akan sirna tenggelam di batas cakrawala kehidupan yang tunduk di hadapan Kehendak dan Keagungan Allah.
Coba kita lihat dari empat produk dari puasa (natiijatush- shaum) yakni tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yakin, apabila ditulis huruf bahasa Arab maka huruf pertama dari masing-masing kata tersebut adalah ta’, qaf, wawu dan ya’. Apabila huruf-huruf pertama itu disusun, maka akan terbentuk kata TAQWA. Inilah sebenarnya sesuatu yang akan dicapai dari ibadah puasa itu.
Mari kita kaitkan dengan empat hal yang PASTI akan terjadi dalam hidup kita, yakni:
1.Kita membutuhkan sesama manusia.
Kita tidak bisa hidup sendiri. Coba kita ambil contoh salah satu kebutuhan pokok kita yakni sandang, dan kita ajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan asal muasal sandang itu. Baju yang kita pakai itu siapa yang membuat? Baju itu dibuat dari kain, nah siapa yang membuat kain? Kain itu dari benang-benang yang dirajut, lalu siapa yang merajut benang itu? Benang itu dipintal dari kapas, lalu siapa yang memintal kapas itu? Kapas itu diambil dari pohon kapas, lalu siapa yang menanamnya? Dalam budidaya tanaman kapas, dibutuhkan beberapa alat, juga pupuk, obat dal lain-lain. Siapa saja yang membuat itu? Nah, jika dirunut ke asal-muasal suatu barang yang kita punya, maka mungkin dia melibatkan banyak sekali manusia dalam proses pembuatannya. Coba bayangkan jika kita hidup sendirian.
Kita membutuhkan orang lain, maka harus bisa diterima oleh orang lain. Agar bisa diterima oleh sesama manusia, maka membutuhkan sifat tawadhu’ (rendah hati). Orang yang tawadhu’ akan disukai oleh orang lain, berbeda dengan orang yang angkuh dan sombong, biasanya dibenci orang lain.
2.Kita membutuhkan harta
Bagaimana kita bisa hidup tanpa harta? Semua benda fisik yang kita miliki sejatinya adalah harta. Namun, semua harta di dunia tidak harus dimiliki manusia agar manusia merasa cukup. Banyak orang salah mengira bahwa dia akan puas manakala memiliki banyak harta seperti rumah mewah, mobil berlimpah, simpanan di bank meruah-ruah, istri... ya nggak hanya satu lah. Nyatanya banyaknya harta itu tidak membuat bahagia, karena tidak pernah merasa cukup.
Nah, manusia akan senantiasa merasa cukup manakala ada sifat qana’ah dalm dirinya. Orang yang qana’ah dapat menerima apa saja dan bagaimana saja keadaan dirinya. Setelah berusaha apa saja yang dia bisa, dia akan menyerahkan sisanya pada Allah dan menerima apa saja yang dikaruniakan padanya dan mensyukurinya. Orang qana’ah ini akan hidup pas-pasan, pas ada pas butuh, dan pas tidak ada pas tidak butuh. Karrena dia tidak mau mengada-adakan yang tidak ada, dan berpikir pada apa saja yang ada.
3.Kita membutuhkan Allah swt.
Selaku makhluk kita tentunya sangat membutuhkan Allah swt. Dialah yang menciptakan kita, menjaga kita, memberi rizki pada kita, menolong kita, mengabilkan do’a kita, memberikan yang kita ingini ... apa saja. Maka mau jadi apa kita kalau tidak membutuhkan Dia?
Orang yang membutuhkan Allah hendaknya berusaha semaksimal mungkin agar dincintai Allah. Dengan dicintai Allah, maka semua harapannya akan terpenuhi. Agar dicintai Allah maka haruslah wara’ karena wara’ adalah salah satu wujud ketaatan pada-Nya.
4.Kita membutuhkan ketenangan
Ketenagan adalah hal yang kita dambakan. Itulah salah satu faktor yang akan membuat kita bahagia. Ketenangan hidup dicapai manakala manusia mempunyai keyakinan, bahwa apapun yang Allah berikan adalah demi kebaikan dirinya. Meskipun Allah memberikan musibah, pastilah itu juga demi kebaikan manusia. Meski pula apa yang kita harapkan belum terkabulkan. Allah tahu apa yang terbaik bagi kita. Keyakinan seperti itulah yang akan memberikan ketenangan pada diri manusia.
Ramadhan adalah hamparan waktu yang dibentangkan Allah Ta’ala agar kita bisa menjadi tawadhu’, qana’ah, wara’ dan yakin. Maka hendaknya kita tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk menjadi murid yang baik dalam Madrasah Ramadhan dan akhirnya nanti lulus dengan spesifikasi tersebut.
Ramadhan yang akan datang adalah bagai tamu agung, yang tentu harus disambut dengan sebaik-baiknya. Ada adab yang berlaku untuk menyambut tamu yang juga berlaku untuk menyambut tamu agung Ramadhan.
1.Tidak membiarkan rumah kita seperti rumah hantu
Suatu hari kita berkunjung ke rumah teman kita. Ternyata setelah sampai ke sana, halaman rumahnya penuh dengan daun-daun kering tanda tidak pernah disapu. Saat masuk, ternyata sarang labah-labah memenuhi sela-sela ruangnya. Banyak juga penghuni rumah selain manusia, ada tokek, banyak nyamuk, berkeliaran tikus, kecoak. Belum lagi saja terlihat seperti mau roboh. Coba, apa yang ada di benak kita sebagai tamu?
Maka jangan biarkan ’rumah’ yang kita miliki seperti itu. Kita jadikan rumah yang berujud hati kita, bersih, indah lagi menawan. Maka untuk menyambut tama Ramadhan kita, hati kita hendaknya bebas dari segala kotoran, bersih dari segala penyakit hati.
2.Tidak menjadikan rumah kita, rumah yang ’tertutup’.
Bagaimana tamu mau masuk ke rumah yang tertutup? Rumah yang tertutup bisa jadi akan memberikan kesan bahwa si empunya rumah tidak menerima tamu. Sehingga yang ingin bertamu menjadi segan. Berbedadengan rumah yang senantiasa terbuka, maka kapanpun ada tamu pasti akan disambut.
Maka jadikan rumah itu rumah yang senantiasa terbuka. Ketika rumah itu , yaitu hati yang mudah tersentuh dengan segala kebaikan dan kemuliaan.
3.Tidak membiarkan rumah kita, rumah yang gelap gulita
Agak meragukan juga melihat rumah yang gelap gulita. Tamu akan ragu apakah di dalamnya ada penghuninya ataukah tidak. Dan yang akan bertamu akan segera berpikir, rumah itu sedang kosong sehingga mau tidak mau dia tidak jadi bertamu di rumah itu.
Untuk menyambut tamu kita, kita terangi rumah (hati) kita dengan penerangan terbaik. Dan penerangan terbaik adalah dengan cahaya ingat mati dan rindu akhirat. Tanda hati yang bertabur cahaya adalah:
a.telah kembali ke kampung akhirat, yakni selalu membayangkan atau berangan-angan telah berada di akhirat (merasakan suasana surga).
b.Bersih dari segala tipu daya dunia
c.Selalu siap kapan pun kematian datang menyapa
4.Kita sambut semua tamu yang datang dengan ’senyum’
Senyum itu adalah rasa bahagia hati kita menyambut tamu Ramadhan.
5.Kita suguhi tamu kita dengan suguhan terlezat dan minuman ternikmat
Suguhan yang disukai oleh Ramadhan:
a.tilawah Al-Qur’an
b.shadaqah dan infaq
c.memperbanyak shalat
d.puasa dengan ihtisab (ikhlas)
* Materi ini disampaikan oleh Ust. Syatori Abdurrouf dalam kajian rutin Kamis sore di PPMi Darush Shaalihat, pada 10 Juli 2008 (7 Rajab 1429 H). Dituliskan oleh Cahya Herwening dengan perubahan sesuai ingatan dan apa yang ada dalam catatan, juga perubahan style penyampaian dan tambahan penjelasan sesuai kebutuhan ^_^.
Jumat, Juli 31, 2009
Edit This
oleh : Johan Muhamad
Bismillahirrohmanir rohim…
Seringkali kita tak menyadari, betapapun beratnya ujian hidup ini pasti selalu ada jalan keluarnya. Saat segala sesuatunya terasa tak mungkin, yakinlah bahwa ada Zat yang sanggup mengubah segala yang tampaknya mustahil itu menjadi kenyataan. Kala kesulitan hidup datang mendera, yakinlah bahwa Allah telah menyediakan jalan keluarnya jika kita benar-benar mau berusaha dan bertawakkal penuh kepada-Nya.
Kisah 1
Siang itu sungguh terik, tapi teriknya matahari tak menyurutkan semangat kaum kafir untuk menghentikan tegaknya dakwah. Mereka dengan teliti menyusuri setiap jejak, mempehatikan semua tanda, dan memeriksa segala kemungkinan demi mencari keberadaan Rasulullah SAW. Mereka yakin, Rasulullah SAW dan Abu Bakar yang belum lama meninggalkan Mekkah pasti tidak berada jauh dari situ. Tak akan mereka biarkan Rasulullah SAW pergi dan menemukan jalan untuk menyiarkan Islam kepada kaum yang lain.
Sampailah mereka ke mulut sebuah goa yang sangat mereka yakini bahwa Rasulullah SAW dan Abu Bakar berada di dalamnya. Pencarian dikonsentrasikan ke arah sana. Semua mata tertuju pada goa tersebut dan masing-masing orang bersiaga untuk segera menangkap orang yang mereka cari. Hidup atau mati, mereka harus menemukannya.
Goa itu kecil. Bukan perkara yang sulit menemukan dua orang yang bersembunyi di dalamnya. Jika bukan karena Allah yang menjaga para penghuninya, mungkin menemukan kalajengking atau serangga kecil lainnya juga dapat dilakukan dengan mudah. Tapi, pada saat itu di dalamnya terdapat makhluk Allah yang sangat Allah sayangi. Dua orang hamba terbaik yang hidup di kolong langit. Tak henti-hentinya mereka berzikir, berdo’ a, dan saling menguatkan. “Laa tahzan, innaLlaha ma’ana”, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.
Mereka telah berusaha sedapat mungkin menyembunyikan kaki mereka agar tak terlihat dari luar goa. Sebelum itu, mereka bahkan telah mengatur strategi agar jejak kaki mereka bahkan tak dapat terendus oleh orang-orang. Tapi kini para pengejar telah berada dekat sekali dengan mulut goa. Tak ada lagi yang dapat diharapkan kecuali pertolongan Allah. Mereka telah menyempurnakan ikhtiar, dan kini saatnya bertawakkal pasrah kepada-Nya.
Saat para pengejar itu telah dekat ke mulut goa, tiba-tiba saja suara mereka semakin menjauh. Pertanda bahwa mereka beranjak pergi. Tak ada seorangpun yang masuk ke dalam goa. Para pengejar lebih yakin pada pengalaman dan ilmu mereka membaca alam. Entah dari mana, sarang laba-laba besar telah terangkai di mulut goa. Dan seekor burung berdiam di sekitar mulut goa tanpa beranjak pergi atau merusak sarang laba-laba. Dua tanda binatang itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tak ada seorangpun di dalam goa. Selamatlah Rasulullah SAW dan Abu Bakar. Pertolongan Allah datang tepat di akhir kondisi kritis.
Kisah 2
Gerombolan orang itu tampak berusaha berjalan secepat mungkin. Tapi apa daya, persiapan seadanya dan kondisi fisik yang lelah tak memungkinkan mereka untuk bergerak cepat. Belum lagi orang tua, para wanita, dan anak-anak membuat perjalanan tak dapat lagi dipercepat. Sementara di belakang mereka terdengar gemuruh pasukan berkuda, benhur, dan pasukan berlarian mengejar gerombolan orang-orang tak berdaya itu. Suara mereka semakin keras terdengar. Tak sampai hitungan jam, mereka pasti akan dapat terkejar.
Di hadapan gerombolan itu hanya ada lautan luas membentang. Tak ada lagi jalan lain. Nabi musa AS yang dari tadi memimpin gerombolan orang dengan susah payah mulai mendapat pertanyaan dan cacian. “Wahai Musa, sesungguhya engkau hanya membawa kami kepada jurang kematian”, begitu kata sebagian mereka. Saat itu tak ada lagi jalan untuk lari atau menghadapi serangan pasukan Fir’aun yang mengejar dari belakang. Mustahil.
Dan saat kondisi kacau balau dan kegalauan terjadi pada setiap orang, Nabi Musa terus berzikir. Ia berdoa pada Allah agar diberikan jalan keluar. Pasrah ia kepada-Nya. Seluruh ikhtiar telah disempurnakan. Tak ada lagi yang dapat menolong selain Allah. Saat kondisi kritis telah terjadi dan kepasrahan hanya diserahkan kepada Allah, maka Allah benar-benar membukakan jalan keluar bagi Bani Israil. Terjadilah apa yang mustahil terjadi selama ini. Terbelahlah lautan sehingga tampaklah jalan yang sebelumnya tak dapat terlihat. Berjalanlah mereka menyeberangi lautan yang luas itu dan selamatlah Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan pasukannya.
Kisah 3
Anak kecil itu telah terbaring pasrah. Ikhlas ia mejalani ini semua karena Allah. Dan sang Ayah pun telah siap untuk melaksanakan tugasnya. Digenggamnya erat-erat sebilah pisau untuk menyembelih anaknya sendiri. Anak laki-laki kesayangannya yang telah dinantikan kelahirannya selama bertahun-tahun.
Ditampiknya semua godaan syaithan. Ia percaya penuh kepada Allah. Ia yakin bahwa Allah pasti selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Ia ingin menjalankan perintah Allah seberat apapun perintah tersebut. Bismillah... Ia membulatkan tekad. Lisannya tak henti-hentinya berzikir. Diayunkanlah lengannya untuk mulai menyembelih. Dan saat ujung pisau nyaris menyentuh leher sang anak, keajaiban terjadi. Sang anak berubah menjadi seekor ghibas.
Ibrahim AS menjalankan perintah Allah yang sangat berat. Ia berjuang melawan dirinya sendiri, melawan bujuk rayu syaithan, demi mematuhi perintah Allah. Dan saat semua ikhtiar telah disempurnakan, maka kepasrahan total hanya diserahkan kepada Allah. Lalu Allah mendatangkan pertolongannya, tepat di saat detik-detik terakhir.
Kisah 4
Gelap, pekat, dan mual ia rasakan. Tidak jelas apa yang terjadi saat itu. Mungkin segala jenis sakit fisik dan tekanan batin terjadi bersamaan di satu waktu. Tapi ia terus berzikir, bertaubat kepada Allah atas segala kesalahan yang ia perbuat. “Asyhadu alla ilaaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minaz zholimin”, aku bersaksi bahwasannya tidak ada Ilah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menjadi bagian dari orang-orang berlaku zholim atas dirinya sendiri. Pasrah ia kepada Allah. Tak ada lagi yang dapat ia lakukan sebagai manusia. Perut ikan paus itu terlalu besar dan ia terlalu lemah untuk berada di dalamnya. Namun kekuatan zikir itu begitu dahsyat. Kalimat taubat yang diucapkan dengan penuh penyesalan itu sungguh mampu mengeluarkan manusia dari permasalahan apapun.
Dan terjadilah apa yang mustahil menurut ukuran manusia. Sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Nabi Yunus AS keluar dari dalam perut ikan paus. Entah bagaimana caranya, ia tiba-tiba dapat keluar dari dalam sana. Dan bukan hanya itu, ia dapat selamat dari kejamnya gelombang lautan yang sangat hebat pada saat itu hingga akhirnya terdampar di daratan. Ia selamat dari keadaan yang sungguh menakutkan, tepat di saat terakhir dari semua kesulitan yang dihadapinya. Saat tak ada seorangpun yag mampu menyelamatkannya sama sekali kecuali Allah.
Hikmah
Rasanya bukan hal yang sulit untuk mengambil hikmah atau ibroh dari kisah-kisah para Nabi tersebut. Satu hal yang seharusnya dapat kita petik ialah keniscayaan bahwa Allah pasti menolong hamba-hambanya yang beriman. Tentu saja semua itu tidak dengan cuma-cuma. Pertolongan Allah itu selalu datang saat semua ikhtiar kita sebagai manusia telah dimaksimalkan. Saat tak ada lagi ikhtiar yang sanggup kita lakukan. Saat tak ada lagi seorangpun yang mampu menolong kita. Saat kepasrahan itu kita serahkan sepenuhya hanya kepada Allah. Saat kita telah menampik semua godaan syaithan. Saat kita telah bertaubat dan menyesali semua kesalahan kita dengan penuh penyesalan. Saat kalimat zikir tak henti-hentinya terucap dari lisan kita. Maka saat itulah pertolongan Allah akan datang.
“ ... alaa inna nashruLlahi qoriib”, ketahuilah.. sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Terkadang mungkin kita tak menyadari betapa dekatnya pertolongan Allah. Alih-alih kita mendekat kepada Allah, kita mungkin justru lebih sering menjauh dari-Nya saat permasalahan menimpa kita. Akibatnya, pertolongan Allah tak kunjung dekat kepada kita. Padahal, kisah para Rasul telah mengajarkan kepada kita bahwa pertolongan Allah itu justru datang saat di mana seseorang berada pada titik terdekatnya dengan Allah. Maka bersabarlah wahai saudaraku, tetaplah bersyukur atas apa yang Allah telah berikan. Berusahalah dengan kemampuan terbaik untuk menjadi hamba-Nya yang sholeh. Banyak-banyaklah berzikir di manapun kau berada. Jangan pernah berputus asa dari pertolongan Allah. Sungguh saudaraku, pertolongan Allah itu pasti datang, insya Allah.
Wallahu a’lam bis showab...
Jumat, Juli 03, 2009
Edit This
Adzan adalah media luar biasa untuk mengumandangkan tauhid terhadap Maha yang Maha Kuasa dan risalah (kenabian) Nabi Muhammad saw. Adzan juga merupakan panggilan shalat kepada umat Islam, yang terus bergema di seluruh dunia lima kali setiap hari.
Betapa mengagumkan suara adzan itu, dan bagi umat Islam di seluruh dunia, adzan merupakan sebuah fakta yang telah mapan. Indonesia misalnya, sebagai sebuah negara terdiri dari ribuan pulau dan dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Begitu fajar fajar menyingsing di sisi timur Sulawesi, di sekitar 5:30 waktu setempat, maka adzan subuh mulai dikumandangkan. Ribuan Muadzin di kawasan timur Indonesia mulai mengumandangkan tauhid kepada yang Maha Kuasa, dan risalah Muhammad saw.
Proses itu terus berlangsung dan bergerak ke arah barat kepulauan Indonesia. Perbedaan waktu antara timur dan barat pulau-pulau di Indonesia adalah satu jam. Oleh karena itu, satu jam setelah adzan selesai di Sulawesi, maka adzan segera bergema di Jakarta, disusul pula sumatra. Dan adzan belum berakhir di Indonesia, maka ia sudah dimulai di Malaysia. Burma adalah di baris berikutnya, dan dalam waktu beberapa jam dari Jakarta, maka adzan mencapai Dacca, ibukota Bangladesh. Dan begitu adzan berakhir di Bangladesh, maka ia ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.
Srinagar dan Sialkot (sebuah kota di Pakistan utara) memiliki waktu adzan yang sama. Perbedaan waktu antara Sialkot, Kota, Karachi dan Gowadar (kota di Baluchistan, sebuah provinsi di Pakistan) adalah empat puluh menit, dan dalam waktu ini, (Dawn) adzan Fajar telah terdengar di Pakistan. Sebelum berakhir di sana, ia telah dimulai di Afghanistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah satu jam. Adzan kembali terdengar selama satu jam di wilayah Hijaz al-Muqaddas (Makkah dan Madinah), Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Irak.
Perbedaan waktu antara Bagdad dan Iskandariyah di Mesir adalah satu jam. Adzan terus bergema di Siria, Mesir, Somalia dan Sudan selama jam tersebut. Iskandariyah dan Istanbul terletak di bujur geografis yang sama. Perbedaan waktu antara timur dan barat Turki adalah satu setengah jam, dan pada saat ini seruan shalat dikumandangkan.
Iskandariyah dan Tripoli (ibukota Libya) terletak di lokasi waktu yang sama. Proses panggilan Adzan sehingga terus berlangsung melalui seluruh kawasan Afrika. Oleh karena itu, kumandang keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudera Atlantik setelah sembilan setengah jam.
Sebelum Adzan mencapai pantai Atlantik, kumandang adzan Zhuhur telah dimulai di kawasan timur Indonesia, dan sebelum mencapai Dacca, adzan Ashar telah dimulai. Dan begitu adzan mencapai Jakarta setelah kira-kira satu setengah jam kemudian, maka waktu Maghrib menyusul. Dan tidak lama setelah waktu Maghrib mencapai Sumatera, maka waktu adzan Isya telah dimulai di Sulawesi! Bila Muadzin di Indonesia mengumandangkan adzan Fajar, maka muadzin di Afrika mengumandangkan adzan untuk Isya.
Jika kita merenungkan fenomena ini dengan serius dan seksama, maka kita menyimpulkan fakta yang luar biasa, yaitu: Setiap saat ribuan muadzin —jika bukan ratusan ribu— di seluruh dunia mengumandangkan keesaan Allah yang Maha Kuasa dan kenabian Nabi Muhammad saw di muka bumi ini! Insya’allah, adzan (panggilan universal) lima kali sehari ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat, Amin.
Di dalam kitab Mazmur 149: 1-9 disebutkan,
(1) Haleluya! Nyanyikanlah bagi Tuhan nyanyian baru! Pujilah Dia dalam jemaah orang-orang saleh.
(2) Biarlah Israel bersukacita atas Yang menjadikannya, biarlah bani Sion bersorak-sorak atas raja mereka!
(3) Biarlah mereka memuji-muji nama-Nya dengan tari-tarian, biarlah mereka bermazmur kepada-Nya dengan rebana dan kecapi!
(4) Sebab Tuhan berkenan kepada umat-Nya, Ia memahkotai orang-orang yang rendah hati dengan keselamatan.
(5) Biarlah orang-orang saleh beria-ria dalam kemuliaan, biarlah mereka bersorak-sorai di atas tempat tidur mereka!
(6) Biarlah pujian pengagungan Allah ada dalam kerongkongan mereka, dan pedang bermata dua di tangan mereka,
(7) untuk melakukan pembalasan terhadap bangsa-bangsa, penyiksaan-penyiksaan terhadap suku-suku bangsa,
(8) untuk membelenggu raja-raja mereka dengan rantai, dan orang-orang mereka yang mulia dengan tali-tali besi,
(9) untuk melaksanakan terhadap mereka hukuman seperti yang tertulis. Itulah semarak bagi semua orang yang dikasihi-Nya. Haleluya!
Dengan membaca nubuwat ini secara seksama, maka kita mendapat kesan bahwa Nabi yang dijanjikan dan digambarkan sebagai raja itu adalah Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
‘(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Ali Imran: 191)
Perluasan wilayah Islam dengan pedang ‘bermata dua’ sebagaimana disebut dalam nubuat di atas, dimulai dari penaklukan Makkah pada masa Nabi Muhammad (SAW), lalu disusul dengan jatuhnya Syria, Byzantine, Persia, Mesir, Konstantinopel, dan banyak negara lainnya, dimana kekuasaan dan kejayaan pada waktu itu ada di tangan para pengikut Muhammad SAW itu, bukan merupakan sejarah yang asing. Sementara Yahudi dan Kristen tidak dapat mengklaim sebagai pemilik nubuat tersebut, terutama mengenai Isa al-Masih. (eramuslim.com)
Rabu, Juli 01, 2009
Edit This
Oleh: Ulis Tofa, Lc
dakwatuna.com - Ramadhan yang penuh kelimpahan kebaikan dan keutamaan, akan dapat dirasakan dan diraih ketika ilmu tentang Ramadhan dipahami dengan baik.
Bayangkan, para generasi awal Islam sangat merindukan bertemu dengan bulan suci ini. Mereka berdo’a selama enam bulan sebelum kedatangannya agar mereka dipanjangkan umurnya sehingga bertemu dengan Ramadhan. Saat Ramadhan tiba, mereka sungguh-sungguh meraih kebaikan dan keuataman Ramadhan. Dan ketika mereka berpisah dengan Ramadhan, mereka berdo’a selama enam bulan setelahnya, agar kesungguhannya diterima Allah swt. Kerinduan itu ada pada diri mereka, karena mereka sadar dan paham betul keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.
Bagaimana menyambut bulan Ramadhan? Berikut kami hadirkan “8 Tips Sambut Ramadhan” :
1. Berdoa agar Allah swt. memberikan umur panjang kepada kita sehingga kita berjumpa dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat. Dengan keadaan sehat, kita bisa melaksanakan ibadah secara maksimal: Puasa, shalat, tilawah, dan dzikir. Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan. Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami ke bulan Ramadan.” (HR. Ahmad dan Tabrani)
2. Pujilah Allah swt. karena Ramadhan telah diberikan kembali kepada kita. Imam An Nawawi dalam kitabAdzkar-nya berkata: ”Dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.” Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah swt. kepada seorang hamba adalah ketika dia diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan.
3. Bergembira dengan datangannya bulan Ramadhan. Rasulullah saw. selalu memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya setiap kali datang bulan Ramadhan: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).
4. Rencanakan agenda kegiatan harian untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan Ramadhan. Ramadhan sangat singkat, karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
5. Kuatkan azam, bulatkan tekad untuk mengisi waktu-waktu Ramadhan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” Muhamad:21.
6. Pahami fiqh Ramadhan. Setiap mukmin wajib hukumnya beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa sebelum Ramadhan datang agar amaliyah Ramadhan kita benar dan diterima oleh Allah swt. “Tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahu.” Al-Anbiyaa’ ayat 7.
7. Kondisikan qalbu dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun- nafs –pemberishan jiwa-. Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa. Sehingga secara mental, dan jiwa kita siap untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah swt. di bulan Ramadhan.
8. Tinggalkan dosa dan maksiat. Isi Ramadhan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Lembaran baru kepada Allah, dengan taubat yang sebenarnya taubatan nashuha. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” An-Nur:31. Lembaran baru kepada Muhammad saw., dengan menjalankan sunnah-sunnahnya dan melanjutkan risalah dakwahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan mempererat hubungan silaturrahim. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling bermanfaat bagi mereka. Sebab, “Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Semoga Allah swt. memanjangkan umur kita sehingga berjumpa dengan Ramadhan. Dan selamat meraih kebaikan-kebaikanny a. Amin ya Rabbana. Allahu a’lam (io)
http://www.dakwatun a.com/2008/ 8-tips-sambut- ramadhan/
Jumat, Mei 29, 2009
Edit This
by : Dian Rennuati, Palembang
(Pemenang Harapan LMCPI VII Annida 2005)
Meninggalkan Kedaton dan Pergi jauh. Hanya itulah keinginan Dawa. Bukan karena ia tak cinta dengan mak dan ayahnya. Bukan karena ia tak cinta dusun tempat dia dilahirkan. Bukan juga karena ia ingin seperti Risnah yang pulang kampung membawa sebua mobil mewah dan seorang laki-laki kaya. Bukan karena itu. Semua karena ia tak ingin hanya menjadi ilalang liar yang menyemak di dusun kecil ini.
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Seperti juga hari-hari yang lain, ketika telapak kakinya menginjak tanah basah dan mematahkan batang-batang rumput. Ranting berserakan di hadapannya, menunggu giliran terinjak. Di kepalanya terbalut kain batik panjang, tempat bertumpu tali rotan yang bersambung ke keranjang di punggungnya. Di depan sana bayangan Mak samar. Kaki Mak lebih lebar dan terlatih. Dawa harus berpeluh banyak untuk mengimbanginya. Masih jauh ke hutan karet. Ia tak boleh banyak mengeluh, supaya energinya tak terbuang percuma.
“Gancanglah dikit!” Mak berseru tak sabar. “Lah terang hari ni.”
Tak perlu dijawab. Dawa hanya perlu memanjangkan langkah. Menaikkan frekuensi napas hingga tersengal. Meninggalkan denyut nadi hingga mencapai angka seratus. Hingga sampai...
Batang-batang karet yang dirindui sekaligus dibencinya mulai tampak. Dirindui, karena melihatnya berarti dia bisa mengistirahatkan otot kakinya sejenak. Dibenci, karena batang-batang tinggi itulah yang harus ditemuinya sepanjang hari. Dedaunan berguguran ke tanah ketika angin mempermainkan ranting-ranting pohon. Sebagian mengenai mukanya lalu luruh ke kaki. Sinar benderang mulai tampak di ufuk timur.
“Kres!” celurit Mak mulai menggores batang demi batang di depannya. Tampak menyembul cairan putih kental yang perlahan mengalir ke bawah, menuju batok-batok kelapa yang telah dipasang seperti mengkuk di sana. Satu. Dua. Tiga....
“Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!”
Dawa tersengat. Hati gadis muda itu mengkerut marah. Marah pada batang tinggi di hadapannya. Sampai kapan dia harus menjadi petani miskin di sini? Keras, dihujamkannya celurit di tangannya. Sungguh, pada saatnya nanti akan kutebang semua pohon karet ini.
***
Petang lah petang ke mane aku
Ambek kusekan di pucuk meja
Petang lah petang kemane aku
Dunie umbang dek bebada
“Sudah petang, kawanku,” Dawa mengingatkan. “Kite balek sekarang. Mak nanti marah.”
Risnah tertawa kecil. Lesung pipit di pipinya tampak dalam, sedalam suaranya. “Indah sekali petang ini. Sebentar lagi lah,” rajuknya.
Dawa menghela napas panjang. Hari ini mungkin hari terakhir dia bercengkerama bersama Risnah. Kalau toh lain kali mereka bertemu, suasananya sudah takkan sama lagi. Besok, teman masa kecilnya itu akan dibawa pergi oleh suaminya. Sang Tuan Kaya Raya yang baru seminggu menikahi Risnah.
Dalam diam, Dawa memandang paras kawannya itu lekat-lekat. Kulit wajah yang putih dan halus. Mata yang hitam bundar. Alis tipis terbentuk rapi. Dari jarak dekat, samar tampak bekas cukuran. Bibir merah merekah. Hidung mancung yang terangkat. Seingat Dawa, dulu hidung itu sama saja dengan hidung yang bertengger di wajahnya.
“Kenapa kau, Dawa? Ada yang aneh dengan wajahku ya?”
“Ngan cantik,” puji Dawa.
“Kau juga cantik.”
“Tidak. Cantikmu itu berbeda.” Aku takut melihat perubahan wajahmu.
Tanpa suara, Risnah tertawa. Giginya yang putih menyembul di antara celah bibir. “Eh, kau mau ikut aku ke Palembang?”
Tersentak oleh pertanyaan itu, Dawa menjawab gagap. “A... aku tak bisa.”
“Kenapa?”
“Mak dan Ayah. Mereka tak akan memberi izin. Sama seperti dulu, waktu aku minta izin melanjutkan sekolah. Aku ini gadis dusun, Kawan. Selama-lamanya aku akan terkurung di sini, memandangi kebun kopi. Juga menampas para,” getir nada suara itu.
“Huh. Apa kau mau seperti itu? Selamanya?”
“Aku tak punya pilihan.”
“Oh ya, kau punya.”
“Mau apa aku di kota?”
“Kau bisa bekerja seperti aku. Aku akan mengurusmu.”
“Sebenarnya, apa yang dulu Ngan kerjakan di kota?” Kau demikian berubah, sampai hampir tak kukenali lagi.
“Aku melamar kerja di pabrik mie instant. Di sana aku bertemu Roy. Dia pemilik pabrik.”
Logat Kedatonmu hilang. Aku yakin kau tidak lupa dengan bahasa ibu kita. Tetapi gaya bicaramu sekarang sudah seperti artis-artis di televisi. Membuat aku merasa asing.
“Kau bisa memulai seperti aku. Sayang, Wa. Ijazah SMP-mu tak akan berguna di sini. Paling-paling kau akan menjadi penampas Para, lalu menikah dengan pria dusun.” Risnah mencibir. “Tinggallah di rumahku,” bujuknya lagi.
“Ngan sudah bersuami. Aku tak mungkin tinggal di rumahmu. Mengganggu saja.”
“Tak apa,” Risnah memandang dengan mata berbinar. “Rumahku, eh, rumah suamiku besar sekali. Dua orang yang tinggal di sana bisa saja tidak saling menyadari kehadiran yang lain jika tidak diberi tahu.”
“Lalu, kenapa Ngan ditinggal di sini?”
“Aku akan dijemput besok. Suamiku pulang lebih dulu. Ada urusan bisnis katanya,” Risnah tersenyum kecil. “Tapi aku tahu, alasan sebenarnya adalah untuk menyiapkan kejutan untukku.”
Kejutan? Lelaki itu kembali ke Palembang dua hari yang lalu, meninggalkan istrinya di Kedaton hanya untuk merancang kejutan untuk istrinya? Dawa terbayang lelaki itu. Tubuh yang tinggi besar, dengan jas rapi. Usianya pasti jauh di atas Risnah, walaupun penampilannya seperti anak muda. Ada sesuatu yang tidak menyenangkan dengan pria itu. Sesuatu yang tidak jelas aku ketahui. Kenapa kesan itu yang aku tangkap?
Pandangan Dawa menerawang ke ufuk barat. Senja yang merah. Burung-burung mulai berterbangan kembali ke sarangnya. Pepohonan hijau mulai berbayang gelap. Udara di bukit kecil tempat dia duduk semakin berangin, membuat ilalang yang menyemak di sekitar mereka bergoyang. Menggigil. Sudah saatnya pulang, batin Dawa. Saat itulah terdengar deru mesin mobil, disusul bayangan mobil sedan mendekat. Setelah mobil itu berhenti di tepi jalan menanjak, pintunya terbuka. Seorang penumpang di dalamnya turun. Dawa merasakan tubuh Risnah menjadi tegak.
“Itu Roy! Wah, bukankah dia baru besok akan datang? Dia benar-benar membuat kejutan untukku.”
Sosok itu makin mendekat dengan senyum lebar. Dia menyeringai padaku. Pandangan mata itu liar seperti...
“Di sini rupanya bidadariku. Aku tadi dari rumah bapakmu. Katanya kau pergi dengan teman akrabmu dulu.”
Teman akrab...ya! Dulu kau adalah teman akrabku. Apakah sekarang kau masih teman akrabku? Kita dulu merajai peringkat juara di SD dan SMP. Kita dulu tak pernah berpisah sampai kau tiba-tiba memutuskan untuk merantau ke Palembang.
“Kapan kau sampai?” suara Risnah manja.
“Sudah agak lama, Darling. Aku sengaja membiarkan kau berkangen-kangenan dengan temanmu. Sudah lima tahun ya, kalian tak saling jumpa?”
Matanya mengerling padaku...
“Ini temanmu yang datang di hari pertama kita sampai kan? Kami belum sempat berkenalan,” pria itu mengulurkan tangan.
Dawa tidak menyambutnya. Mulutnya hanya bisa berucap, “Eh...”
Risnah mengakak. “Roy, dia ini dak pernah mau berjabat tangan dengan laki-laki.
Kau masih ingat rupanya. Bukankah dulu kau juga begitu? Kita menuruti kata Cak Mai, guru mengaji kita dulu.
“Benarkah? Gila, aku lupa kalau tempat ini masih menganut adat istiadat kuno.” Roy pura-pura terkejut, menutup mulutnya dengan kesepuluh jari. Jemari itu penuh cincin kuning bermata jeli. Menyilaukan.
“Ayolah kita pulang,” Risnah menyambut tangan penuh cincin itu.
Mereka bertiga pulang bersama. Sepanjang perjalanan, Dawa hanya diam sementara Risnah dengan semangat masih berusaha mengubah keputusannya. Dawa diturunkan di depan rumahnya, tak jauh dari rumah orang tua Risnah.
Dari dalam mobil sedan yang kini dijauhinya, tanpa disadarinya dua pasang mata mengamati. Mata dua orang pria. Roy dan supirnya.
“Ayu dan alami. Original...” seulas senyum tipis tersungging di bibir salah seorang lelaki. Yang lain mengangguk setuju.
“Aduhai, Bos. banyak yang cari tipe seperti itu.”
Di belakang, Risnah asyik memandang burung-burung dan senja merah yang mulai menghitam. “Sayang, kita pulang sekarang atau besok?”
***
Subuh yang pekat dengan titik air. Matahari akan terbit nanti, tapi tidak sekarang. Dawa mengayunkan langkah dengan berat. Pergi dari Kedaton. Tawaran yang menggiurkan. Dia tak lagi harus bergegas tiap subuh. Bisa lebih lama bercengkerama dengan sajadah dan mukenanya, menyambung tilawah sampai mentari dini muncul. Tidak harus berjalan jauh ke hutan karet untuk menorehkan luka di batang-batang kurus itu.
Derak ranting patah mengiringi langkah Dawa. Seandainya dia bisa pergi ke kota, dia tak ingin menjadi seperti Risnah. Dia ingin menjadi seperti ibu Lili, kepala sekolah di SMP-nya dulu. Ibu Lili juga dari kota. Lulusan universitas. Ibu Lili dulu selalu memuji nilai-nilainya. Ibu Lili selalu mengatakan kalau setiap orang punya hak untuk melanjutkan pendidikan. Setiap orang, bukan hanya anak laki-laki.
Mak dan Ayah tak setuju. Anak perempuan, sekolah tinggi mau apa? Tak perlu sekolah untuk bisa hamil dan melahirkan. Jika ada di antara tujuh anaknya yang pergi melanjutkan sekolah ke kota, dia pasti salah satu dari tiga adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya! Padahal mereka bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar. Masih lama untuk sampai ke jenjang SMU.
Kalau saja ada jalan lain. Jalan yang akan membawanya menuju bangku sekolah lanjutan. Jalan yang akan memuaskan keingintahuan yang bergelora di dadanya tentang bagaimana wujud tempat Bu Lili kuliah dulu. Bu Lili dulu pernah berjanji akan mengusahakan beasiswa untuknya. Janji yang tak kunjung ditepati sampai dia tamat SMP. Tak ada penerimaan beasiswa, kata Bu Lili dengan pandangan sedih. Tak ada. Karena itulah dia berada di sini, menjadi penampas Para bersama Mak.
Adakah jalan itu? Jalan yang akan menjadikannya sebatang pohon yang berbuah lebat lagi manis, yang akarnya menghujam di tanah Kedaton dan puncaknya melangit hingga angkasa. Pohon rindang tempat berteduh Ayah, Mak, dan keenam adiknya. Buah ranum dari pohonnya akan mengalirkan energi buat seluruh penghuni dusun. Jika dia berhasil menjadi orang 'besar', dia bisa mengaspal seluruh jalan di sini. Dia juga akan membelikan mobil untuk dipakai seluruh penghuni dusun untuk menjual hasil kebun ke kota. Pasti harganya akan menjadi lebih mahal. Uang mereka juga akan lebih banyak. Hanya itu yang dia inginkan.
Menjadi seperti Risnah? Memiliki harta berlimpah dan hidup bahagia? Apakah Risnah bahagia? Yang terakhir sangat disangsikan. Dawa bergidik. Kemarin malam, selepas isya, suami Risnah menemuinya hanya untuk menawarkan bantuan keluar dari Kedaton. Tinggal di Palembang menemani Risnah yang katanya sering kesepian. Sepanjang pembicaraan, matanya yang liar menjelajah tubuh Dawa seolah ingin melumatnya. Saat kata “tidak” terucap dari mulut Dawa, pria itu mencoba menjamah tangannya. Mengingat itu semua, Dawa mengelus tangannya sendiri. Tangan kanannya yang kemarin telah menginggalkan bekas tamparan di wajah Roy.
Derak ranting masih terdengar di bawah kakinya. Cuma derak itu yang menemani perjalanannya. Kaki Mak terkilir kemarin sore saat akan mengambil air di sungai. Adik-adiknya yang lain ada yang sekolah, ada yang pergi ke kebun kopi bersama Ayah. Bayang-bayang suram di sekitarnya mulai pudar ditimpa cahaya matahari. Burung-burung mulai bernyanyi menyemarakkan subuh yang menjelang. Sebentar lagi dia sampai.
Sebentar lagi...langkahnya terhenti. Ada yang lain. Ada derak langkah lain di belakangnya. Langkah diiringi dengus napas berat dan hawa napsu dendam. Dawa berbalik. Matanya silau oleh pantulan mentari di deretan cincin bermata jeli. Cincin itu berderet di jemari seorang lelaki.
“Manis, kita nikmati dulu pagi yang indah ini,” suara dari nereka mengoyak hatinya. Mungkin sebentar lagi...tubuhnya.
Aku tak kan pernah sampai di Palembang. Aku tak akan sempat menjadi pohon besar rindang berbuah lebat. Aku juga akan berhenti menjadi ilalang liar. Aku akan mempertahankan diri, kalau perlu sampai tak berdarah lagi.
Dawa meraba gagang celurit yang terselip di keranjangnya. Biarlah...
Plg, 21 “06” 05
Keterangan:
Gancanglah dikit! : Cepatlah sedikit
Lah terang hari ni: sudah terang hari ini
Apo gawe ngan? Menung kian guk patung!: Apa kerjamu? Termenung saja mirip patung.
Ngan: Kamu
Menampas Para: menyadap karet
Jumat, Mei 29, 2009
Edit This
Besi itu kuat, tetapi api dapat melelehkannya
Api itu kuat, tetapi air mampu memadamkannya
Air itu kuat, tetapi matahari bisa mengalahkannya
Matahari itu kuat, tetapi awan dapat menghalanginya
Awan itu kuat, tetapi angin mampu memindahkannya
Angin itu kuat, tetapi manusia mampu menahannya
Manusia itu kuat, tetapi ketakutan bisa melemahkannya
Ketakutan itu kuat, tetapi tidur bisa mengatasinya
Tidur itu kuat, tetapi mati ternyata lebih kuat
Terkuat adalah kebaikan, ia takkan hilang setelah mati.
So...fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan ) ok
Rabu, Mei 27, 2009
Edit This
Saudaraku, ajaklah segera hati ini meninggalkan dunia ini dan berpindah ke akhirat, tempatkan hati ini diakhirat sehingga seakan kita adalah penduduk negeri akhir itu. Anggaplah kehadiran kita di dunia fana ini hanya sebagai orang asing, yang singgah sesaat sebelum kembali meneruskan perjalanan ke alam akhirat. Rasulullah manusia agung pun pernah mengingatkan kita bahwa; “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan.”(HR. Bukhari)
Sadarilah saudaraku, semakin manusia mengejar dan menyibukkan diri dengan urusan dunia, itu pertanda semakin parah penyakit yang bersarang di hatinya. Ia memandang dunia seolah tempat hidup yang kekal dan abadi. Sungguh tidak demikian saudaraku, kita hanya singgah sesaat disini.
Saudaraku, jangan biarkan kita lupa atau melepaskan diri dari dzikrullah dan tilawah Al Qur’an atau bentuk ibadah lainnya. Sedetik saja kita meninggalkannya, tentu kita akan merasakan sakit yang teramat sangat melebihi rasa sakit saat kehilangan sebagian harta dan benda kesayangan kita.
Banyak orang-orang yang teramat rindunya dengan orang yang disayanginya, namun sudahkah kita merindukan kebersamaan kita dengan Allah, merindukan untuk mengabdi kepada Allah seperti rindu kepada orang yang disayang itu. Rindu seperti yang pernah digambarkan Yahya bin Mu’adz: “Barangsiapa merasa senang dan damai berkhidmat kepada Allah, maka segala sesuatu pun akan senang berkhidmat kepadanya, dan barangsiapa tentram pandangannya (mata batinnya) karena Allah, maka tentram pula yang lainnya ketika melihat orang seperti ini.”
Yang seperti ini saudaraku, tentu karena ia menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya.
Saudaraku, ukurlah kesehatan hati kita saat menghadapkan diri ini kepada Allah dalam sholat. Pernahkah merasakan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang begitu suci dalam setiap sholat kita sehingga menghilangkan segala gundah akan kenikmatan dunia yang serba semu. Jika jawabannya adalah Ya, maka berbahagialah.
Selain itu saudaraku, sudah seharusnya kita sadar bahwa waktu berlalu begitu singkat dan cepat, mereka tidak akan pernah kembali jika sudah terlewati. Maka, hargailah setiap waktu yang kita miliki dan tidak menyia-nyiakannya sehingga kita tidak tergolong orang-orang yang merugi.
Janganlah terputus dan malas akan mengingat Allah, utamakan kualitas amalan daripada kuantitasnya, ikhlaslah dalam beramal, ikutilah petunjuk syariat Rasulullah dalam berbuat (mutaaba’ah) serta ihsan dalam beribadah. Disamping itu, renungkan juga segala bentuk karunia yang Allah berikan, kaji ulang setiap ketidakmampuan kita dalam memenuhi hak-hak Allah.
Saudaraku, jika kita sudah merasakan dan melakukan semua hal diatas yang menandakan sehatnya hati ini, bolehlah kita tersenyum. Namun jika tidak, sebaiknya perbanyaklah menangis karena sungguh hati ini seperti membatu, segeralah benahi hati ini agar kembali sehat detik ini juga, sebelum detik berikutnya Izrail menghampiri kita tanpa tersenyum.
Wallahu a’lam bishshowaab.
Senin, Mei 11, 2009
Edit This
iqro club banjarmasin rencana nya mo ngadakan acara buat memperingati hari pendidikan..buat kmoe2...siap2 aza ya :)insyaallah akan ada informasi lengkap nya nyampe ke skul kamoe
so..check it out..
Jumat, Mei 01, 2009
Edit This
Waktu adalah ladang amal. Allah swt. menyediakannya agar kita menggunakannya sebagai modal penting menggapai ridha-Nya. Keutamaan seseorang di sisi Allah, selain ditentukan oleh keimanan dan amal shalihnya adalah faktor keterdahuluannya dalam keimanan dan amal shalihnya. Tidaklah sama antara orang-orang yang terdahulu masuk Islam -As-Sabiqunal Awwalun- dan orang-orang yang belakangan. Tidak sama antara jamaah yang berada di shaf awal dalam shalat dengan yang berada di barisan paling belakang. Berbeda derajat orang yang hadir di shalat Jumat paling awal dengan yang paling akhir.
Saudaraku…
Menyegerakan amal, itulah ajaran Islam kepada ummatnya. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menasihati para sahabatnya untuk selalu menyegerakan amal saleh, kendati mereka itu manusia-manusia yang teruji keimanannya. Kata Nabi kala itu,
“Bersegeralah melakukan amal-amal saleh (kebajikan). (Sebab) sebuah fitnah akan datang bagai sepotong malam yang gelap. Seseorang yang paginya mukmin, sorenya menjadi kafir. Dan seseorang yang sorenya bisa jadi kafir, paginya menjadi mukmin. Ia menjual agamanya dengan harga dunia.” (H.R. Muslim)
Demikian pesan Nabi saw. mulia itu juga disampaikan untuk kita. Adakah di antara kita yang selama sehari semalam penuh menjadi seorang mukmin sejati? Bisakah dan mampukah kita selama 24 jam tidak melakukan dosa dan sikap kufur, sekecil apapun kepada Allah Taala? Padahal ketika Allah swt. memberikan waktu 24 jam sehari, transaksinya adalah untuk dipersembahkan kepada Allah swt. semuanya. Pada setiap shalat kita selalu mengumandangkannya kepada Allah.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162)
Bukankah ketika kita tidak berempati atas nasib kaum lemah dan tertindas adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat? Bukankah di saat kita tidur dan bangun tidur tanpa mengingat Allah, tanda kita lupa kepada-Nya? Bukankah lupa adalah bagian dari kekufuran kita kepada Sang Khaliq?
Saudaraku…
Sesungguhnya fitnah itu lebih cepat bergerak. Sekali kita membiarkannya maka selanjutnya ia akan bersemayam dan berkembang dalam tubuh kita. Begitu cepat dan samarnya sampai menjadikan orang pindah agama, menggadaikannya dengan sedikit kesenangan dunia
Wajar jika sampai-sampai Rasulullah saw. mengingatkan para sahabatnya itu, walau Nabi tahu keimanan para sahabat itu tak akan tertandingi oleh orang-orang sesudahnya.
Dengan apa kita menutup pintu fitnah? Ya, dengan amal shaleh. Apa saja dalam hidup orang beriman bisa menjadi amal kebaikan. Kita membuang sampah pada tempatnya itu amal baik. Berniat tidak bohong itu amal mulia. Mengucapkan salam kepada kawan itu amal yang terpuji. Mendo’akan saudara seiman kendati mereka tak tahu juga amal shaleh. Dan masih banyak lagi amal shaleh, amakl kebajikan yang bisa kita lakukan, sekalipun kita tak memiliki sesuatu.
“Orang-orang kaya pergi mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kita shalat, mereka puasa sebagaimana kita puasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Rasulullah bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya satu tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan pada hubungan (dengan istri) kalian adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang mendatangi istrinya karena syahwatnya, apakah ia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa menurut kalian kalau dia meletakkannya pada yang haram. Bukankah baginya dosa? Demikian pula jika diletakkan pada yang halal, padanya ada pahala.” (Bukhari Muslim)
Allah swt. dengan keadilan-Nya memberikan peluang amal kepada masing-masing hamba-Nya. Baik orang miskin maupun kaya, masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kebajikan dan mendapatkan ridha Allah. Lebih dari itu, suatu amal tidak dilihat dari kuantitasnya, tapi dilihat dari motivasi dan niatnya. Kualitas amal seseorang tergantung kepada motivasi dan niatnya.
Saudaraku…
Boleh jadi infak seorang buruh sebesar 1000 rupiah, itu sama nilainya dengan infak seorang direktur sejumlah Rp. 1.000.000.000,00. Seorang murid barangkali lebih mulia dengan seorang gurunya, karena si murid lebih sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sementara sang guru merasa cukup dengan ilmunya.
Menyegerakan amal kebajikan tentu akan memberi nilai tambah bagi pelakunya sendiri. Menyegerakan berbuat baik berarti mempercepat dirinya mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah. Kenapa? Sebab, kita telah berupaya menutup pintu-pintu kemungkaran dan kebatilan. Dengan demikian pula, Allah akan membukakan kebahagiaan, yakni, surga. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran:133)
Mengapa kita mesti menyegerakan amal?
1. Karena asset waktu yang kita miliki hanyalah saat ini. Apa yang terjadi nanti dan esok hari kita tidak tahu. Kemarin bukan lagi milik kita, ia telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Kebaikan dan keburukan yang kita kerjakan kemarin tidak bisa kita ulang lagi. Ia menjadi kenangan saat ini. Jika kebaikan, bersyukurlah kita, dan jika keburukan menyesallah bersama orang-orang yang menyesal. Masih beruntung jika kita bersyukur hari ini, bukan saat di mana penyesalan tidak ada artinya lagi. Esok hari juga belum menjadi milik kita, ia ada di alam gaib yang hanya Allah swt. yang tahu. Kita tidak tahu apakah esok hari masih bisa menghirup udara pagi?
2. Karena amal kita tidak mungkin dikerjakan orang lain. Masing-masing orang akan datang kepada Allah dengan amal perbuatan yang dikerjakannya sendiri di dunia. Keshalihan orang tua tidak bisa diandalkan anaknya. Seorang suami tidak akan selamat dari murka Allah karena amal perbuatan istrinya. Kita boleh bangga terhadap pemimpin, orang tua, anak, guru, dan suami atau istri kita karena keshalihan mereka. Kebanggaan kita tidak bisa berbicara banyak di hadapan pengadilan Allah swt.
3. Karena kemuliaan derajat seseorang di sisi Allah swt. disebabkan oleh kesungguhannya dalam merespon seruan kebajikan dan mengamalkannya. Orang tua akan senang jika menyuruh anaknya mengerjakan sesuatu lalu dikerjakan segera. Sebaliknya ia akan marah jika si anak menunda-nunda mengerjakannya. Demikian pula Allah Ta’ala. Seruan kebajikan dikumandangkan untuk segera diamalkan.
4. Karena setiap waktu ada momentnya sendiri. Setiap waktu ada tuntutan amalnya. Banyak sekali amal perbuatan yang sangat terkait dengan waktu. Yang ketika waktunya berakhir, berakhir pula kesempatan untuk mengerjakannya. Seperti shalat, puasa, haji, berkurban, dan lain sebagainya.
5. Kesempatan beramal juga diberikan kepada seseorang pada waktu-waktu tertentu. Orang kaya diberi kesempatan beramal dengan kekayaannya. Orang berilmu diberi kesempatan beramal dengan ilmunya. Seorang pimpinan diberi kesempatan beramal dengan kekuasannya. Jangan sampai Allah swt. mencabut kesempatan itu dan tidak bisa lagi berbuat. Kesehatan, waktu luang, hidup, masa muda, dan kekayaan adalah kesempatan untuk beramal.
Saudaraku…
Tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Saat inilah waktumu. Segeralah beramal sesuai dengan tuntutan waktunya. Kejarlah kebajikan sampai ke liang lahat. Wallahu A’lam.
Kamis, April 16, 2009
Edit This
Dimuat di rubrik "Epik" Annida No 02/XV/ Oktober-November 2005
Lutfi Mufti
Senja di muara Sungai Barito selalu tampak indah. Kenanga tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau itu. Hampir setiap senja, dia datang ke muara Sungai Barito. Terkadang dia berjukung dari Sungai Kuin—tempat rumah palimasan yang dia tinggali sekeluarga berdiri. Namun, sekarang Kenanga hanya duduk di pinggiran tumpakan kecil. Memandang dermaga pelabuhan yang mengikat beberapa kapal. Memandangi aktifitas sepanjang pinggir sungai yang sibuk menyambut datangnya malam dengan membersihkan badan, setelah seharian bergelut dengan peluh dan kotoran.
Beberapa lelaki turun dari geladak kapal menggunakan tangga mendekati permukaan sungai. Mereka adalah pelaut. Sebagian besar kapal yang berlabuh di Muara Barito datang dari daerah lain. Ada yang dari Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan beberapa pulau lainnya. Mereka melakukan aktifitas perniagaan, datang membawa barang hasil daerahnya, kemudian pulang membawa hasil dari daerah lain.
Satu dua orang lelaki itu melambai ke arahnya. Kenanga menjawab dengan lambaian pula. Kebetulan, dia mengenal mereka. Kenanga senang berkenalan dengan pelaut dari daerah lain. Dia suka mendengar cerita tentang daerah asal mereka. Dia pun ingin bisa berkunjung ke sana. Keinginan yang mustahil bisa terpenuhi, karena Ayah tidak akan mengizinkannya.
Ingat ayahnya, Kenanga kembali terngiang percakapan keluarganya pagi tadi.
“Kami memutuskan untuk minta bantuan ke Demak,” ujar Ayah sambil menyantap singkong rebus dan secangkir kopi yang dihidangkan Uma sebagai sarapan.
Tiga kakak lelakinya yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi hidangan serta Kenanga dan Uma sama-sama menatap Ayah, menunggu lanjutan cerita. Ayah—Ragapati, adalah pembantu Patih Masih, penguasa Bandar—pelabuhan yang berlokasi di Muara Sungai Barito. Itulah sebabnya pelabuhan Sungai Barito ini dinamakan Bandar Masih. Semula hanya sebuah kampung kecil yang akhirnya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Kisah Ayah tentang perkembangan politik di daerah mereka memang menarik. Terutama setelah beberapa waktu lalu dia membawa kabar yang cukup mengejutkan.
“Pemuda itu ternyata Pangeran Samudera—pewaris tahta Negara Dipa. Saat pamannya—Arya Temenggung mengambil kesempatan setelah meninggalnya Raja Sukarama sementara pewarisnya Pangeran Samudera belum dewasa dengan merebut kekuasaan, ternyata dia dan beberapa pengikut setianya berhasil melarikan diri,” cerita Ayah setelah beberapa hari sebelumnya mendadak dipanggil Patih Masih untuk sebuah musyawarah penting.
Kenanga mengenal pemuda yang dimaksud ayahnya. Kebetulan dia pernah bertemu. Saat itu seperti biasa, dia asyik berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Bercengkerama dengan beberapa pelaut yang memang mengenalnya sebagai putra Ragapati—pembantu kepercayaan Patih Masih. Mereka menghormati dan segan padanya.
Mereka tidak tahu sesungguhnya Kenanga adalah wanita, karena dia selalu memakai pakaian pria. Dia merasa tidak nyaman dan tidak leluasa dengan mengenakan pakaian para gadis umumnya. Dia lebih suka tampil sebagaimana kakak-kakaknya. Lagipula, Ayah tak pernah membedakan anak-anaknya. Dia juga mendapatkan didikan dan latihan sebagaimana ketiga kakak lelakinya, termasuk latihan bela diri dan ilmu keprajuritan.
Pemuda itu juga sama terkecohnya. Merasa mereka sebaya, dia menghampiri Kenanga. Dia mengenalkan namanya dengan menanggalkan gelar kebangsawanan. Dia bertanya di mana bisa mendapatkan perlengkapan menangkap ikan yang harganya miring.
Kenanga mengenalkan diri dengan nama Kenang—perpendekan nama Indah Kenangsari yang diberikan Umanya. Dia mulanya merasa heran, karena penampilan pemuda itu tidak seperti nelayan kebanyakan. Meskipun badannya tinggi tegap sebagaimana umumnya nelayan yang pekerja keras, namun kulitnya bersih dan terang. Selain itu, wajahnya juga tampan. Matanya bulat tajam. Alisnya tebal. Hidungnya tinggi. Rahangnya kokoh. Ditambah lagi, tutur bahasanya halus, dan gaya bicaranya sangat sopan. Tampak jelas dia dari kalangan terdidik.
Namun keheranannya tertepis dengan sendirinya melihat pemuda itu tanpa canggung menyiapkan kapal yang baru dibelinya berikut lunta dan perlengkapan nelayan lainnya. Gerakannya gesit dan trampil, tanda dia sudah terbiasa.
Ternyata, dugaan Kenanga sama sekali tidak meleset. Pemuda itu bukan orang biasa. Dia keturunan raja yang terusir dari tahta.
“Setelah Patih Masih bermusyawarah dengan Patih Kuin dan Patih Balitung, akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja. Daerah kekuasaannya meliputi Bandar Masih, Kuin, dan Balitung—dinamakan daerah Banjar. Ketiga patih akan terus mendampingi Pangeran Samudera mengelola Banjar. Jadi, mulai sekarang, kita punya seorang raja. Sebagai istananya, Patih Kuin merelakan Rumah Baanjungnya untuk ditinggali Pangeran Samudera. Dari sanalah pemerintahan akan dijalankan,” ujar Ayah penuh semangat.
Berdirinya Banjar dengan Pangeran Samudera sebagai pucuk pimpinan disambut antusias penduduk ketiga daerah. Sejak itu, denyut kehidupan di daerah tersebut terasa berbeda. Bila mulanya ketiga daerah ini bergerak sendiri-sendiri dengan pimpinannya masing-masing sekarang mereka bersatu dalam kebersamaan.
Semula, sebagian besar bumi Kalimantan di bagian selatan, termasuk ketiga wilayah ini adalah bagian dari kerajaan Hindu Negara Dipa. Dahulunya, kerajaan ini bernama Daha, dan pusat pemerintahannya terletak di daerah Margasari. Namun, seiring dengan pergantian kekuasaan, kota raja pun sering berpindah-pindah. Terakhir, saat Negara Dipa direbut Arya Temenggung, pemerintahan dipindah ke daerah Muara Bahan.
Ketiga daerah ini, meski mengakui sebagai bagian dari Negara Dipa, namun para pemimpinnya yang tangguh, mengelola sendiri daerahnya. Bandar Masih semakin berkembang menjadi kota pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal besar dari daerah lain, membuat kota pelabuhan ini semakin terbuka dan maju. Demikian juga dua daerah di sekitarnya, Kuin dan Balitung, yang punya masing-masing memiliki sungai besar yang punya akses langsung ke pelabuhan, ikut merasakan dampak kemajuan yang bergulir pesat.
Ketika ketiga daerah mulai bersatu dibawah pimpinan raja yang baru diangkat, kerajaan baru ini semakin maju. Pelabuhan mulai ditata dengan peraturan kerajaan. Perniagaan semakin terbuka. Kemakmuran masyarakat meningkat. Kesejahteraan menjadi gula yang menarik para pendatang dari daerah pedalaman untuk mengadu nasib di daerah pesisir pelabuhan.
Pesatnya kemajuan Banjar ternyata memancing ketakutan dan kekhawatiran para petinggi Negara Dipa di Muara Bahan. Terlebih setelah Arya Temenggung mengetahui, yang diangkat menjadi raja adalah Pangeran Samudera, keponakan yang telah dia rampas tahtanya. Bila dibiarkan terus besar, bukan tidak mungkin Pangeran Samudera menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam padanya.
Atas pemikiran itulah, Arya Temenggung kemudian mengirim bala tentaranya untuk memerangi Banjar. Daerah yang semula makmur sentosa, mendadak bersiaga perang. Benteng pertahanan berupa jejeran kayu galam berujung runcing dibangun di Sungai Kuin, untuk menahan lajunya gempuran pasukan Negara Dipa.
Namun bagaimanapun saktinya Patih Masih. Patih Kuin, Patih Balitung, dan sejumlah pembantu setia Pangeran Samudera yang lain, digempur terus-terusan oleh pasukan perang terlatih membuat mereka akhirnya kewalahan juga. Pasalnya, selama ini mereka hanya berkonsentrasi memajukkan pelabuhan dan perniagaan, sama sekali tidak ada persiapan untuk menghadapi perang besar kecuali sesaat setelah mendengar laporan penyerangan dari penduduk desa Anjir yang letaknya berbatasan dengan Muara Bahan.
Para petinggi dan pembantu setia Pangeran Samudera berunding. Ayah sebagai salah satu andalan Patih Masih juga ikut bermusyawarah. Baru tadi pagi dia menyampaikan hasilnya kepada keluarga. Pemberitahuan bahwa dia akan ikut rombongan utusan ke Demak untuk minta bantuan.
“Ayah ikut ke Demak?” tanya Indrapura—kakak ketiga Kenanga.
“Ya. Gentanata juga ikut. Sementara kau dan Argapati tetap di sini, membantu pertahanan selama kami tinggalkan,” tegas Ayah.
“Apa Demak mau membantu kita?” tanya Uma sangsi.
“Mudah-mudahan mau. Bukankah nenek moyang Pangeran Samudera juga dari tanah Jawa?”
Seketika Kenanga ingat cerita yang pernah dikisahkan Neneknya. Konon raja pertama Negara Daha adalah pangeran dari Kerajaan Majapahit—Suryanata, menikah dengan Putri Junjung Buih—putri yang tiba-tiba muncul dari buih sungai Barito sebagai jawaban tapa Lambung Mangkurat, pendiri kerajaan Negara Daha yang juga berasal dari tanah Jawa.
“Iya, tapi itu dulu. Sekarang kabarnya berbeda. Bahkan katanya Demak menganut kepercayaan yang berbeda dengan kita. Agama yang disebut Islam,” tambah Argapati.
Kenanga tercenung. Tiba-tiba saja dia teringat Malik—seorang pelaut kenalannya. Dia juga dari Jawa, dan juga mengaku menganut Agama Islam. Saat itu Kenanga sangat tertarik bertanya tentang agamanya. Pasalnya, Islam hanya mengakui satu Tuhan.
Sejak kecil, Kenanga memang sering mangkir bila diajak ke kuil. Dia tidak suka menyembah-nyembah tiga patung dewa yang ada di sana. Ayahnya lebih suka memuja Syiwa, sementara Uma lebih sering menyembahyangi Brahma. Guru silat keluarganya—Datuk Ganggapati, menyembah Wisnu. Ini membingungkan Kenanga. Apa ketiga dewa itu tidak saling iri dan kemudian berebut penyembah? Meski para orangtua itu menjelaskan bahwa dewa trimurti hakekatnya adalah satu, namun akalnya tak mampu menerima. Bagaimana mungkin ada Dewa perusak dan ada Dewa Pemilihara? Bukankah tujuan keduanya bertentangan? Bagaimana bisa satu?
Ketidakmengertian membuat Kenanga sering melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Dia sering mencuri sesajen yang setiap malam tertentu disediakan Umanya. Dia juga selalu menolak bila disuruh melakukan ritual yang menurutnya tidak masuk akal. Kenanga bahkan tidak mau menerima hadiah senjata sakti yang diberikan padanya karena senjata-senjata tersebut menuntut ritual yang dianggapnya akan membebaninya.
“Keris kan senjata untuk dimanfaatkan pemiliknya. Bagaimana mungkin keris bisa memanfaatkan pemilik untuk memenuhi tuntutannya; mandi kembang tiap malam tertentu dan minta sesajen sesuai keinginan? Yang bodoh itu siapa?” ucap Kenanga yang langsung disambut kemarahan Ayah dan kakak-akaknya.
Namun Kenanga memang keras kepala. Tak ada yang bisa memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Sebaliknya, bila dia menginginkan sesuatu, tak ada pula yang bisa mencegahnya. Dan sekarang, dia ikut ke Demak.
Demak mengingatkannya kepada Malik, sahabat pelautnya. Karena keduanya memiliki satu hal yang sama, Islam. Sebuah kata yang menurut Kenanga punya daya tarik kuat.
“Islam hanya percaya satu Tuhan, yang menguasai seluruh alam semesta—yang menghidupkan dan mematikan, yang menciptakan ataupun menghancurkan, yang menurunkan gerimis sekaligus meniupkan badai, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di alam.”
“Bagaimana mungkin stupa bisa berbuat seperti itu?”
“Tuhan orang Islam tidak berbentuk stupa.”
“Lalu? Berupa pohon besar? Atau api?” Kenanga bertanya karena pernah melihat penduduk pedalaman melakukan ritual untuk memuja benda-benda tersebut.
Malik menggeleng. “Tidak. Tidak semua itu.”
“Lalu?”
“Tuhan kami tidak sama dengan makhluk atau ciptaan-Nya yang lain. bagaimana mungkin Sang Pencipta sama dengan hasil ciptaan-Nya?”
“Jadi?”
“Jadi, Dia adalah Dzat yang tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, tak mungkin terpecahkan oleh akal, tak mungkin teraba oleh rasa, tapi Dia benar-benar ada. Kita tahu Dia ada karena memang terbukti Dia ada. Karena Dia seringkali membuktikan keberadaann-Nya.
Kening Kenanga berkerut. Sebenarnya banyak lagi yang ingin diketahuinya. Entah kenapa, dia merasa telah menemukan setitik cahaya. Sayang, ketika itu Malik harus kembail berlayar, meninggalkan sejuta tanda tanya besar yang masih belum terjawab tentang Dzat yang menurut Malik adalah segalanya. Dan setitik cahaya itu pun perlahan bagai bara yang mulai meredup.
Tapi, saat mendengar Demak, Kenanga bagai kembali melihat seberkas asa. Ada kemungkinan dia akan memperoleh jawaban dari sejuta tanya yang selama ini dipendamnya. Bukan tidak mungkin di Demak, pencariannya terhadap Dzat yang menggugah rasa penasaran itu akan berujung. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sana?
***
“Kenanga? Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
Gentanata yang kebetulan berpatroli sendiri ke gudang perbekalan terbelalak saat menangkap sosok di antara tumpukan bahan makanan. Kenanga tersenyum menghampiri.
“Bukan masalah sulit,” sahutnya ringan.
Memang mudah bagi Kenanga. Saat orang-orang sibuk mengangkut perbekalan ke kapal, dia ikut menyelinap. Bersembunyi di balik karung beras beberapa lama sampai kapal benar-benar meninggalkan Sungai Barito menuju Laut Jawa. Ketika itu, dia sudah benar-benar aman.
“Kalau Ayah tahu…”
“Ayah takkan tahu,” potong Kenanga cepat. “Bila Kakak tidak mengatakannya.”
Gentanata terdiam. Tentu saja, karena Ayah diberi kepercayaan menjadi salah satu pimpinan rombongan utusan ke Demak. Begitu banyak yang harus dia urus. Tentu tak punya banyak waktu untuk menjelajah seluruh isi kapal dan mengetahu keberadaan Kenanga yang dikiranya masih duduk manis di rumah.
Perlahan Genta menghela nafas. Dia tahu, dia pasti takkan sampai hati melaporkan kenakalan adiknya itu. Lagipula, apa gunanya? Toh, kapal sudah cukup jauh meninggalkan bandar. Tidak mungkin kembali hanya untuk memulangkan Kenanga. Dan lebih tidak mungkin juga bila harus menurunkan ke laut.
“Aku takkan melaporkanmu pada Ayah, asal kamu janji untuk tidak berada jauh-jauh dariku selama di negeri orang—apalagi kalau kamu sampai bikin masalah macam-macam!” Genta mengancam.
“Aku janji.”
24 September 1526
“Allahu Akbar…Allahu Akbar!”
Setiap kali memekik nyaring, serasa berlipat ganda kekuatannya bertambah. Bersama ayunan mandau dalam genggamannya, selalu ada prajurit Negara Dipa yang tersungkur terkena sabetannya. Kenanga, bersama sisa kekuatan pendukung Pangeran Samudera, berikut ratusan prajurit yang dikirim sebagai bala bantuan dari Demak, membuat pasukan Arya Temenggung yang berlipat-lipat jumlahnya kocar-kacir. Mereka mulai kewalahan dan terdesak hebat.
Utusan yang dikirim untuk minta bantuan ke Demak ternyata tidak pulang dengan tangan hampa. Sultan Trenggono dengan senang hati membantu, meski dengan satu persyaratan, bila Pangeran Samudera menang, dia harus mengizinkan penyebaran syiar Islam di Bumi Kalimantan, khususnya Banjar.
Mulanya, syarat ini dianggap cukup berat. Para utusan tidak berani mengambil keputusan. Namun, ketika Pangeran Samudera bertemu langsung dengan Khatib Dayan—pimpinan pasukan yang dikirim Demak, mereka cukup lama bercakap-cakap dan berdiskusi, akhirnya memutuskan sebuah kesepakatan, menerima persyaratan.
Kenanga yang mendengar kesepakatan itu merasa sangat lega. Saat ikut perjalanan ke Demak secara diam-diam, dia seolah kembali pulang dengan seberkas cahaya—Islam. Walau hanya sebentar dia sempat mempelajari Islam, namun dia meyakini kebenarannya yang menurutnya telah lama menjadi pertanyaan terpendam. Ketika Pangeran Samudera menyetujui syiar Islam di Kalimantan, dia pun merasa yakin pijar cahaya kebenaran itu tidak hanya akan menerangi jiwanya, namun kehidupan seluruh rakyat Banjar.
“Hentikan…hentikan perang! Tahan serangan!” teriakan menggelegar, menghentikan hingar-bingar pertempuran.
“Pangeran Samudera telah mengalahkan Arya Temenggung. Raja Negara Dipa telah menyerah,” teriak seorang lelaki gagah, bertubuh kekar. Dia adalah Patih Balitung.
“Kalau begitu, seluruh prajurit Negara Dipa kita tawan!” sambut Patih Kuin gembira.
“Tidak. Para prajurit Negara Dipa dilepaskan. Pangeran Samudera memaafkan seluruh kesalahan pamannya. Beliau membebaskan semua prajurit Negara Dipa untuk kembali pulang.”
“Apa?”
Bukan hanya Katih Kuin, semua prajurit yang terlibat dalam pertempuran tersentak kaget.
“Itu benar. Meski telah didzalimi. Pangeran Samudera dengan ikhlas memaafkan. Karena ketulusan inilah, akhirnya hati Raja Arya Temenggung terketuk. Di hadapan kami dan prajurit lainnya, Arya Temenggung secara resmi menyerahkan kembali tahta kepada Pangeran Samudera. Singgasana Negara Dipa dikembalikan kepada Pangeran Samudera! Hidup Pangeran Samudera!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Pekik kegembiraan terdengar bersahutan.
Epilog
Arya Temenggung menepati janjinya, mengembalikan tahta Negara Dipa kepada Pangeran Samudera. Pangeran Samudera memindahkan pusat pemerintahan dari Muara Bahan ke Kuin. Itulah awal perkembangan Kerajaan Banjar—Kerajaan Islam pertama di Kalimantan Selatan, karena Pangeran Samudera memutuskan untuk memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Dia kemudian membangun masjid pertama di Kalimantan Selatan, dekat istananya yang diberi nama Masjid Sultan Suriansyah. Sejak saat itu, syiar Islam semakin berkibar di bumi Kalimantan dan cahaya kebenaran berpijar di Banjar.
Tags: epik
Prev: [Galeri] Imaji Visual, Unsur Dramatik, dan Tema
Next: [Kafe Nida] Edisi 03/XV
Kamis, April 16, 2009
Edit This
Seorang anak memperhatikan tingkah ibunya yang menurutnya aneh. Ia heran kenapa kalau akan keluar rumah, ibunya selalu menutup rapat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan di dalam rumah pun, jika tamu datang, ibunya segera melakukan hal yang sama: berhijab.
“Ibu aneh!” ucapnya sambil mencari-cari reaksi dari sang ibu. Ibu anak itu pun menoleh ke arah buah hatinya. Ia memeriksa dirinya untuk menemukan sesuatu yang agak lain. Tapi, tidak ia temukan.
“Aneh? Apanya yang aneh, sayang?” sambut sang ibu ketika yakin kalau tak ada satu pun dari dirinya yang lain dari yang lain.
“Kenapa ibu menutup rambut, tubuh, lengan, dan kaki kalau mau keluar? Padahal, ibu tidak cacat. Rambut ibu bagus, lengan dan kaki ibu pun tidak ada yang perlu disembunyikan!” ungkap sang anak begitu gamblang. Mungkin, inilah kesempatannya untuk bisa mengeluarkan kebingungannya selama ini.
Sang ibu pun senyum. Ia mendekati anaknya perlahan. Sambil mengulum senyum itu, sang ibu mencari-cari jawaban yang pas buat si anak.
“Anakku, ibu tidak sedang menutupi kecantikan, apalagi keburukan. Justru, ibu mengenakan kecantikan baru untuk memperindah kecantikan fisik ibu yang tidak seberapa. Inilah busana kecantikan dari Yang Maha Sayang!” ucap sang ibu sambil menatap buah hati di depannya yang masih tampak bingung.
**
Inti dari dinamika hidup anak-anak manusia adalah memproduksi sesuatu yang indah. Bagus. Paling baik. Keindahan akan semakin indah ketika karya anak manusia telah melalui berbagai halangan, ujian, cobaan; menggosok batu cincin keindahan amal menuju peringkat keindahan yang lebih tinggi.
Namun, itu saja belum cukup. Karena keindahan yang bisa dihasilkan manusia tidak seperti kemolekan alam melalui birunya laut, keserasian cakrawala, dan liukan indah sebuah pegunungan.
Keindahan amal manusia tidak berhenti pada sesuatu yang tampak. Justru, keindahan akan kian bernilai ketika ia tidak lagi mudah terlihat, tidak gampang terjamah. Itulah busana kecantikan amal dari Yang Maha Sayang, dan hanya untuk Yang Paling Penyayang. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Kamis, April 16, 2009
Edit This
Seorang anak memperhatikan ibunya yang sedang menuang air mendidih ke sebuah wadah. Terlihat kepulan asap yang mengiringi aliran air panas itu ke tempat yang ia belum paham.
"Apa itu, Bu?" tanyanya sesaat kemudian. Sang ibu menoleh perlahan sambil tangannya memegang kuat ceret berisi air panas yang masih terus mengalir ke tempat baru itu. "Oh, ini. Termos, Nak!" jawabnya singkat. Ia pun menuntaskan kegiatannya. Sebagian air panas dituang ke termos, dan sisanya masih berada di ceret.
"Kenapa dituang ke termos, Bu?" sang anak terus memperlihatkan rasa ingin tahunya. Ia tidak peduli kalau ibunya masih sibuk menutup dan memindahkan termos ke tempat semula. Setelah itu, sang ibu pun menoleh ke buah hatinya.
"Anakku. Termos itu tempat menyimpan air supaya tetap hangat," jawab sang ibu sambil senyum ke arah sang anak. "Sore nanti, kamu akan lihat kegunaannya," tambah sang ibu sambil membelai rambut si anak yang masih balita itu. Si anak pun mulai penasaran.
Akhirnya, sore pun datang. Dan, bocah yang selalu ingin tahu itu pun mendapatkan pelajaran baru dari ibunya. "Sini, Nak!" ucap sang ibu sambil menuangkan air dari termos ke gelas. "Apa yang kamu lihat, sayang?" tanya sang ibu seraya menatap wajah buah hatinya penuh bijaksana. "Airnya masih hangat, kan!" Sang anak pun mengangguk.
Pikirannya pun mengikuti gerak langkah ibunya yang kemudian menuangkan air dari ceret ke gelas yang lain. "Dan ini, coba kamu perhatikan. Air di ceret sudah tidak hangat lagi. Padahal, sumbernya sama-sama dari air yang tadi ibu masak," tutur sang ibu kemudian.
"Aneh ya, Bu?" respon si anak kemudian. "Anakku. Wadah termos terdiri dari kaca yang saling memantul. Dan dalam termos pun kedap udara. Itulah di antaranya, kenapa air dalam termos bisa tetap hangat!" jelas sang ibu seraya menatap buah hatinya yang mengangguk perlahan. *** Dalam diri manusia ada jiwa yang sangat menentukan seperti apa keadaan perilaku mereka. Jiwa yang terhangatkan oleh cahaya keimanan akan membangkitkan kesegaran optimisme, kesabaran, dan keikhlasan. Seorang mukmin mesti pandai-pandai menjaga kelanggengan kehangatan itu dalam sebuah termos jiwa. Di situlah, kehangatan tersimpan baik dalam pantulan cermin hati yang bersih dan suasana yang kedap dari segala kotoran. Dan, kehangatan jiwa pun akan terus terjaga.
Jangan biasakan jiwa yang semula hangat hanya tersimpan begitu saja dalam ceret yang terbuka. Karena kehangatan itu akan segera menguap bersama hembusan angin lingkungan yang tidak tentu arah.
Sayangnya, si empunya jiwa kerap tak sadar, kalau jiwa yang beberapa saat lalu masih hangat, ternyata sudah dingin. Bahkan mungkin sudah tercemar. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Sabtu, Maret 28, 2009
Edit This
by : Muthmainnah
Mata itu berbinar-binar. “Jam tujuh, Jeng!”
Ajeng tak bergerak dari telungkupnya. Matanya setia mengikuti huruf demi huruf jurnal komunikasi di depannya. Dua hari lagi dia harus mengirimkan bab tiga ke supervisor.
Karin menyodok Ajeng. “Denger nggak?”
Ugh. Dari kemarin omongan Karin nggak lepas dari sale! Sale Topshop, Fcuk, Zara. Sekarang Next. Esok Next mulai sale. Dia naksir blazer hitam Next.
Bukannya Ajeng nggak naksir!
“Iya.” Ajeng menjawab datar.
Karin tertawa bahagia. “Sale winter lalu aku nggak bisa belanja, Jeng. Soalnya uang kepake tur Eropa. Aku tadi cek account. Kiriman dari Bapak sudah masuk.” Dia tidak punya fasilitas overdraft.
Mulut Ajeng mengerucut. “Bukannya kamu masih ngutang sama Mbak Ira?” Mereka berdua membayar sewa rumah pada Mbak Ira, karena rumah disewa atas nama Mbak Ira. Tiap bulan mereka berbagi bill. Mbak Ira membayar paling banyak, karena kamarnya paling besar. Lalu Karin. Sedang Ajeng menempati kamar singel yang terkecil. Cuman muat kasur, lemari dan meja kecil. Ada sisa ruang sedikit untuk sholat.
Karin belum bayar kopi Costa pada Ajeng. Pekan lalu juga utang ongkos ke car boot sale Whitley Bay. Memang nggak banyak sih. Enam pound. Cuma, segitu bisa makan tiga hari. Ajeng menggerutu dalam hati.
Karin seperti tak mendengar.
“Sewa rumah bulan lalu?”
Karin seperti tersengat. “Aku akan bayar.” Dia menggerutu panjang pendek. Sale nggak ada tiap hari, begitu isi gerutunya .
Ajeng menutup dua telinga. Dia perlu kosentrasi.
Karin begitu itu. Anak orang kaya. Hobinya jalan-jalan dan belanja. Liburan akhir tahun main ski ke Austria. Punya mobil dan HP. Tapi sering ngutang. Sedihnya utangnya dilupakan.
Ajeng sering apes. Kalo jalan sama Karin, misal minum kopi, Karin minta dibayarin dulu. Alasannya belum ambil uang ke ATM. Minum kopi ya paling sepound lebih dikit. Cuma, bisa dipastikan Karin lupa sama utangnya. Pernah Ajeng mencatat, sebulan utang-utang kecil Karin sampai pada jumlah 23 pound! Mulai dari beli minum, ongkos, bayar kartu fotokopi, sampai... beli pembalut.
Ubun-ubun Ajeng rasanya sudah berasap. Uang segitu buat Emak di rumah bisa buat belanja dua pekan! Bukan apa-apa. Ajeng kan miskin. Ke sini juga disekolahkan orang. Nggak seperti Karin. Bapaknya kayak yang punya bank saja. Kapan saja, berapa saja Karin minta, selalu ada. Mbak Ira juga bukan orang kaya. Supaya bisa meneruskan sekolahnya, dia kerja serabutan ke mana-mana.
“Blazernya buat Agustusan. Mas Agung pasti datang. Dia panitia.”
Ajeng membuka tangan di telinganya, melongo. Dia lupa dengan jurnalnya.
“Mas Agung?” Dia tak percaya.
“Agung Haryanto.” Wajah itu melamun.
Ajeng memukul Karin dengan jurnalnya. “Bangun ooi!”
Karin kembali ke bumi, manyun. “Napa?”
“Mas Agung udah tua, Karin!”
“Paling baru 26, beda 7 tahun saja.”
Ajeng menatap temannya takjub. “Orang kayak dia biasanya udah nikah lagi umur segitu!” Jenggotan, baju koko.
“Nggak ada istrinya.”
“Kali ditinggal.”
“Kalo nggak ada di sini, lebih mudah kan.”
“Ampuun deh. Waras dikit napa sih Karin!” Semprot Ajeng. Ajeng mengemasi bukunya. Kekesalannya bertambah-tambah. Selain hobi belanja, dia juga senang melakukan pendekatan pada makhluk-makhluk.
Karin sebenarnya manis, asal dia mengurangi make upnya. Dia cukup menarik kalau pakai bajunya proper. Pernah, pergi mengunjungi kapal Dewaruci--bertambat di Quayside dalam lomba tallship--dia datang dengan baju skimpi, celana jins yang robeknya sampai pangkal paha dan melorot rendah sekali. Asli, Ajeng nggak mau dekat-dekat dengan Karin. Dia tidak mau melihat bagaimana teman serumahnya dinikmati pelaut yang sudah lama tidak lihat perempuan itu.Eh, ndilalah. Dengan bahagianya Karin cerita dia diajak ngobrol banyak awak kapal.
Asli, Ajeng geleng-geleng. Ada ya makhluk seajaib Karin?
Lha, mau mendekati Mas Agung? Yang ustadz itu?
***
Pagi Agustus yang segar dan ramah. Cericit burung saling meningkahi. Di Jakarta, Ajeng tak pernah mendengar suara burung pagi-pagi. Dulu, ketika baru sampai di sini, bangun pagi hari, Ajeng takjub mendengar kicauan burung. Di sini memang begitu. Penduduk banyak menyediakan makanan burung di halamannya. Di danau buatan, roti bertaburan seperti pasir di pantai. Merpati dan bebek di Leazes Park sampai tak bisa menghabiskan ‘sumbangan’ makanan itu. Mereka makmur dan gendut. Menembak burung liar bisa kena penjara. Makanya burung di sini berkembang biak. Ajeng sempat berfantasi menangkap bebek di sana dan memasak bebek hijau a la Tante Ayu dari Padang. Fantasi saja. Ajeng masih takut polisi.
“Jeng, sudah siap belum?” Suara melengking Karin. Ia minta ditemani belanja.
Agak malas Ajeng keluar kamar.
“Ayo!” Karin tidak sabar, menuruni tangga.
“Biasanya jam segini, kamu masih ngorok,” Ajeng misuh-misuh.
Karin pura-pura tidak mendengar. Dia menyambar jilbab dari gantungan baju dan melemparkan kepada Ajeng. “Aku tunggu di mobil.” Lalu dia melesat keluar.
Nona ini kalau ada maunya... Padahal pakai mobil dia ke city centre nggak sampai enam menit.
“Aku naksir blazer hitamnya, Jeng. Kemarin, sebelum sale masih 100 pound. Katanya, hari ini bisa jadi 60 persen. Bisa dapat 40 pound. Di Jakarta nggak dapat segitu. Boro-boro. Sepotong Next bisa dua juta. Ada sepatu yang cantik temannya. Aku lihat masih ada ukuranku. Mungkin bisa dapet 15 pound.”
Sepatu Ajeng dibawa dari Indonesia.
“Uang segitu bisa bayar kamar lhoo.”
Bibir itu manyun.
“Aku akan bayar. Denger nggak sih?”
“Habis, masih ada utang, udah maruk mau belanja. Kasihan Mbak Ira. Kerja banting tulang gitu.”
“Aku kan bilang,” seru Karin melengking. “Aku akan bayar. Aku cuma mau pake bajunya untuk tujuh belasan. Trus direfund.”
W H A T?!
Ajeng menatap temannya horor.
“Maksudmu?”
“Aku beli dulu, trus dibalikin. Uangnya kan dapat lagi.”
“Setelah bajunya kamu pake?”
Karin nampak gelisah. “Ya.” Suaranya kecil.
N O!
“Rugi amat yang beli baju setelah kamu pake.” Ajeng ketus.
“Why?” Suara itu penuh ancaman.
“Bau!”
Karin mengumpat. “Aku nggak pernah bau lagi! Kamu tuh.”
Hening.
“Kan boleh gitu, Jeng. Kalo nggak puas, nggak suka barangnya, ada masa 14 hari untuk refund. Banyak yang kayak gitu.”
“Baju?”
“Ya, macam-macam. Kemarin Mas Han beli digital cam untuk graduationnya. Pas udah dipake, kameranya dibalikin. Uangnya dapat lagi. Daripada nyewa kamera.”
Ajeng berdiam diri. Dia tetap merasa apa yang akan dilakukan Karin salah.
“Tahu nggak? Next juga jualan scarf lho. Beli deh. Aku mau nyari yang pake nama Nextnya. Aku mau pakai jilbab esok...”
Ajeng memutar bola matanya.
Sejak kapan si seksi ini kepikiran pake jilbab?
“Mas Agung,” Karin terkikik.
Ajeng tersegat lebah. “Napa?”
“Pasti nggak pernah liat anak jilbab modis.”
Hidup di jaman kapan sih kamu, Karin? “Di Indonesia dah banyak lagi anak jilbab gaya kamu,” tukas Ajeng datar.
“Eh?” Wajah itu tidak percaya.
“Sudah banyak yang jilbabnya mini, nampak udel. Banyak juga yang jilbab cekek, nampak big boobs. Jadi, kayak kamu mah dah pasaran,” dengus Ajeng.
“Kan nggak ada yang secantik aku.” Suara itu bahagia.
Ajeng mau muntah. “Cantik tapi...”
“Sirik tanda tak mampu.”
Hoek.
Karin parkir di dalam kampus. Tak menunggu langkah kecil Ajeng, Karin setengah berlari menyeberang. Ajeng sengaja memperlambat langkahnya.
“Jeeeng, aku tunggu di depan pintu ya?” pekik Karin.
Ajeng meleletkan lidah.
Pagi Sabtu, jalanan sepi. Kampus pun hampir kosong. Gedung pustaka Robinson menjulang dari jauh, seakan mempunyai magnet yang amat kuat. Di saku jaket Ajeng ada kartu mahasiswa. Walau kampus sedang libur, Ajeng bisa membuka gedung dengan kartunya.
Pergi? Tidak?
Wajah murka Karin membayang.
Menghela napas, Ajeng menekan tombol lampu penyeberang di depan St. Mary.
Wuih. Di depan Next antrian sudah mengular... sampai ke Superdrug. Ada ibu-ibu dengan pushchair juga. Semangat amat sih.
“Hallo, Ajeng. Ngesale juga nih,” Beberapa ibu-ibu Indonesia, bergerombol di barisan agak ke depan.
Ajeng meringis. “Nunggu sejak jam berapa, Bu?”
“Hampir jam lima. Tapi, kan kita hampir paling depan.” Mereka tertawa riang.
Ajeng tertawa terpaksa. Dia lalu pamit, menuju ujung antrian.
Jalan Northumberland mulai hidup. Karin thumps up melihat Ajeng. Mereka terpisah lima orang.
“Assalamu’alaikum. Ajeng? Karin? Apa kabar?”
Satu suara membuat Ajeng melongokkan kepala. Mbak Onny. Yang membina pengajian putri Newcastle. Muka Ajeng memanas. Dia merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang kurang pantas. Ajeng keluar dari antrian dan menyalami Mbak Onny.
“Pulang kerja Mbak?”
Mbak Onny cleaner. Suaminya Ph.D. Belum selesai, beasiswa sudah habis. Mbak Onny yang juga dosen di Jogja mencari penghasilan dengan menjadi petugas kebersihan.
“Baru akan berangkat. Besok datang?”
Kerongkongan Ajeng kering. Dia mengangguk lemah.
Mbak Onny tersenyum tipis. “Jangan lupa sisihkan uang untuk Pangandaran, Jogja dan yang lain ya?” Mata itu begitu damai.
Ajeng tunduk. Coba tadi ke kampus saja.
“Sendirinya belum tentu ngirim ke Pangandaran,” Karin menyong, menatap punggung Mbak Onny yang hampir hilang.
“Sok tau lu.” Kepala Ajeng memanas.
Untungnya pintu Next dibuka. Seperti ombak, manusia berduyun masuk ke toko. Karin mendesak maju. Ajeng membiarkan yang lain mendahului. Minatnya untuk lihat-lihat lenyap.Karin seperti orang demam. Pontang-panting meraup blazer yang dia idam-idamkan; sepatu, scarf. Dua-dua tangannya penuh dengan baju, rok dan lain-lain. Ajeng berdiri di tepi. Toko itu terlalu penuh untuk bisa jalan dengan tenang. Baju dan rok Ajeng masih banyak yang bagus.
***
Kalau kemarin, Karin yang menunggu Ajeng di depan pintu, kali ini giliran Ajeng.
“Lama amat sih dandannya?”
Mbak Ira tidak di rumah. Menginap di rumah temannya.
Ketika pintu itu terbuka pelan-pelan, Ajeng menahan tawa kuat-kuat. Menor beh. Jilbab cekek. Aduh, nggak Karin amat deh.
“Aku belum selesai.” Karin mengacungkan tangannya. Kuku palsu!
Karena takut pertahanan dirinya jebol—ngakak nggak habis-habisan—Ajeng mendahului Karin menuju Leazes Park.
Anak ajaib. Karin pernah mikir nggak sih nyambung di mana jilbab sama kuku palsu? Ajeng geleng-geleng kepala. Tapi, ya, masih mending berteman sama Karin. Undergrad yang lain pada hobi clubbing, atau kasinoing. Betul itu. Teman-teman, kalau week end, sering janjian di Monument, terus jalan ke club. Atau mereka suka ngumpul di kasino. Alasan anak gadis muslim yang lain, mereka sekadar duduk di lounge. Ada sandwich gratis.
“Kan nggak betting. Lumayan, free dinner.”
Ajeng nggak deh.
Walau Karin hobi berpakaian seksi, sejauh ini, dia nggak freely touchy, gitu loh. Exsesively flirty, iya. Anaknya kadang nyebelin. Tapi, dalamnya dia baik.
Setiap memasuki pagar Leazes, selalu Ajeng ingat Bang Rul. Bang Rul gila bola. Bulan pertama di sini, melulu pertanyaan Abang tentang Owen. Pohon kiri kanan yang merundukkan rimbunnya ke jalan, hmm, Ajeng suuuka. Sebentar lagi, Autumn. Daun-daunnya akan berguguran dan menghiasi jalan. Menguning seperti emas. Pohon tinggal ranting dan dahan saja. Dulu, waktu baca prospek Newcastle Uni, Ajeng jatuh cinta dengan danau ini. Baguuus sekali. Pulau kecil yang romantis. Kebayang nggak sih, kemping di pulau kecil, sendiri saja? Di sekitar angsa dan bebek liar? Menghidupkan api unggun? Yummy.
Eh, pas melihat betulan. Asli, Ajeng terperangah. Ini mah kolam ikan! Bukan ‘lake’. Ketipu, sodara-sodara! Tapi, tetap cakep. Kolam ikan yang terawat dan bersih. Apalagi di kanannya, playground anak-anak baru saja dibangun. Lengkap dengan lantai warna warninya.
Di kiri danau, hampir ke dekat St James Park, komunitas Indonesia mendirikan tenda makanan. Ibu-ibu berkumpul di tenda. Sebagian sibuk mengatur makanan, sebagian ngerumpi sambil icip-icip. Anak-anak berlarian. Warna kulit mereka beragam. Dari yang putih bule, putih Cina, sampai hitam Afrika. Teriakan mereka medok Geordie.
“Let’s go to the wa’er!”
“It’s not fun!” Fun dibaca dekat ke bunyi u, daripada a.
Bapak mereka, ada yang bule, ada yang Afrika, bergerombol di satu sudut. Bapak-bapak PhD kumpulnya di sudut lain. Diskusinya melulu tentang perkembangan tesis. Anak muda-muda punya kesibukan lain. Ada yang menyiapkan tonggak untuk mengibarkan bendera. Ada yang menyiapkan perangkat games dadakan. Ada yang bungkus-bungkus kado hadiah. Ajeng pilih gabung ke sini. Menggunting kertas kado, menempelkannya ke kotak hadiah. Panitia menyiapkan puluhan hadiah. Sebagian untuk anak-anak seperti spidol, magic board.
“Aku juga mau deh dapet hadiah ginian?” Ajeng membolak-balik kotak girl’s kit.
“Masa kecil kurang bahagia lu,” Naning temannya membungkus kado berkomentar dengan cuek.
Ajeng cengar-cengir.
Waktu kecil—sekarang juga sih—mana ada dalam kamus keluarga Ajeng dibelikan mainan. Kalau mau punya mainan, ya dibuat sendiri. Boneka dijahit Emak. Pistol-pistolan dibuat dari pohon bambu.
“Eh, udah dipanggil upacara,” Naning menyenggol Ajeng. Di sekitar mereka bertumpuk kotak kado.
Ajeng buru-buru menggunting selotip. Merapihkan lipat kertas kado dan sigap menempelkan selotip.Yup. Sudah. Lagu Indonesia Raya sudah setengah jalan. Pelan Ajeng menggabungkan diri. Di depan komandan upacara, ketua PPI. Ada yang mengibarkan bendera, berdua. Komunitas Indonesia berdiri berjejer. Mungkin seratus lah.
Aneh ya, upacara di negeri orang.
Pembacaan puisi. Puisi ini terjemahan lagu Indonesia Raya. Tujuannya memberikan pemahaman lebih pada adik-adik kecil yang lahir dan besar di sini. Ini tugas Karin.
Karin berjalan dari samping, menuju tengah lapangan. Wajah percaya dirinya penuh senyum. Satu kali matanya mengerling pada Mas Agung. Tapi yang dikerling tidak melepaskan pandang dari bendera merah putih. Percuma Karin!
Karin berbalik.
Alaaaamaaaak.
Ajeng ingin berlari ke depan, menyambar lengan temannya dan mengajaknya minggir.
Pada leher blazer Next hitamnya itu, yang di dalamnya ada jilbab cekek, bergelantungan dengan manis....
Aduh, merek dan harga baju!
Kertas itu menari-nari ditiup angin.
Sebagian menahan tawa. Sebagian pura-pura tak tahu. Sebagian lagi berdiskusi, walau bisik-bisik.
“Wah, lupa memotong mereknya ya.”
“Mau direfund kali.” Cekikikan.
Muka Ajeng memanas. Aduh, cepet dong Karin.
Karin menyelesaikan puisi dan dengan gerakan yang lebih gemulai dari biasa meninggalkan tengah lapangan. Ajeng menyelinap di antara badan-badan, menyelusuri belakang barisan dan menarik Karin. Karin berusaha menepiskan helaan Ajeng. Ajeng mengencangkan tarikannya sampai akhirnya Karin mengalah dan mundur.
“Apaan sih?” Karin tak meleparkan pandangannya dari tempat Mas Agung berdiri.
Ajeng menelan ludah. Hatinya kecut. “Ka... kamu...” Bagaimana Karin yang sangat peduli dengan penampilan menerima berita ini?
“Apa sih?” Karin tidak sabar.
“Lupa...” Ajeng membersihkan kerongkongannya. “Merek baju.”
Muka Karin memucat. Tangannya gemetar merayapi punggungnya, menuju bawah tengkuk. Jarinya menyentuh merek itu. Mulut Karin terbuka dan tertutup tanpa suara. Matanya membelalak. Wajahnya penuh horror. Tanpa suara, dia membalikkan badan, membawa kakinya berlari, menjauh dari kerumunan orang.
Jantung Ajeng jatuh sampai dasar perutnya.
Karin menerima berita ini lebih buruk yang dia duga.
Biasanya, dia punya rasa humor. Setengah berlari Ajeng menyusul Karin. Ajeng belum sempat mencicipi gule Bu Faqih yang terkenal itu!
Yaaaa.
Karin deh.***
Newcastle, 61 tahun kemerdekaan Bumi Pertiwi
Box:
Muthmainnah, alias Maimon Herawati adalah salah satu penulis favorit Annida (1997) dengan serial fenomenal Pingkan, yang telah diterbitkan dan hingga kini masih dicetak ulang. Selain Pingkan, Maimon juga menulis beberapa buku seperti Tembang di Padang, Rahasia Dua Hati dan Muara Kasih. Penulis kelahiran Sijunjung, 15 Mei 1974 ini sekarang tinggal di Newcastle, Inggris, menemani suami studi di sana.
# Naskah ini pernah dimuat di Annida Nomor 01/XVI/September 2006